Jurnal Etika Bisnis

JURNAL I :

Prosiding SNaPP2011: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

ISSN 2089-3590
Analisis Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis dan Praktik
“Corporate Governance” terhadap Penerapan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan
(Studi Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

Prasetyono
Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Trunojoyo Madura.
e-mail: prasetyounijoyo@yahoo.com

Abstrak. The purpose of this research is to analyze and find out empirical
evidences including: 1) the influence of the firm size, the implementation of business
ethics and corporate governance practice on corporate social responsibility both
simultaneously; 2) the influence of the firm size, the implementation of business
ethics and corporate governance practice on corporate social responsibility
partially. This research used survey methods where the populations were from non
state owned manufacturing companies listed in Indonesian Stock Exchange period
2008-2010. The sampling technique used purposive sampling. The data in this
research consist primary and secondary data. Primary data were collected by using
questionnaires and secondary data were collected by gathering from Indonesian
Stock Exchange and firm website, and also in The Center of Capital Market
Reverence Indonesian Stock Exchange. The data had been analyzed to test the
hypothesis using the path analysis with SPSS version 16.
The results of this research have showed that: 1) simultaneously, the firms size, the
implementation of business ethics and corporate governance practice gave positive
influence significantly on corporate social responsibility; 2) partially, the
implementation of business ethics and corporate governance practice gave positive
influence significantly on corporate social responsibility, but the firms size were not
influenced significantly on corporate social responsibility were partially;

Keyword: Firms Size, Business Ethics, Corporate Governance and Corporate Social Responsibility
1. Pendahuluan
Dalam upaya mencapai tujuannya, perusahaan tidak hanya memiliki tanggung
jawab ekonomi kepada para shareholders seperti bagaimana memperoleh laba dan
menaikkan harga saham atau tanggung jawab hukum (legal) kepada pemerintah, tetapi
perusahaan juga mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada masyarakat,
karyawan, dan stakeholders lainnya. Hal ini karena perusahaan dalam melaksanakan
kegiatan operasionalnya akan berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung
dengan lingkungannya yaitu dengan menggunakan sumber-sumber ekonomi yang
secara keseluruhan berasal dari lingkungan dan pada akhirnya dikonsumsi juga oleh
lingkungan. Oleh karena itu, setiap perusahaan harus mempunyai tanggung jawab sosial
( corporate social responsibility) yang sangat besar terhadap lingkungannya. Berbagai
alasan digunakan untuk mendukung pentingnya tanggung jawab sosial seperti yang
diungkapkan oleh Belkaoui (2006), yang mengatakan bahwa organisasi seharusnya
bertindak untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial melalui kontrak antara organisasi
dengan masyarakat, sehingga organisasi akan memperoleh legitimasi dari masyarakat.
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan kewajiban organisasi bisnis
untuk turut serta dalam kegiatan yang bertujuan melindungi dan meningkatkan
239

240 | Prasetyono
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat dua prinsip utama yang
mendukung teori CSR yaitu: the charity principle, dan the stewardship principle
(Frederik, 1994). Prinsip pertama, terkait dengan peran perusahaan dalam membantu
masyarakat sekitar dan bersifat sukarela, sedangkan prinsip kedua merupakan peran
perusahaan dalam mengelola sumber daya. Perusahaan bertanggungjawab untuk
mengelola sumber daya yang dipercayakan oleh masyarakat dengan baik, sehingga
prinsip kedua ini bersifat sebagai kewajiban ( compulsory). Pemahaman corporate
philanthropy sebagai salah satu bentuk corporate social responsibility sesuai dengan
prinsip tanggung jawab sosial yang dikemukakan Frederik (1994), yaitu charity
principle. Sedangkan perusahaan go public di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM).
Di Indonesia, komitmen dan tanggung jawab perusahaan dalam menjaga
lingkungannya dapat dilihat dari Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan
dalam pengelolaan (PROPER) yang menunjukkan bahwa pada periode tahun 2009-
2010, jumlah perusahaan manufaktur mengalami peningkatan dari 220 perusahaan
menjadi 258 perusahaan. Dari jumlah 258 perusahaan yang mengikuti Program Proper,
sebagian besar atau sebanyak 169(65,50%) perusahaan telah melakukan pengelolaan
lingkungan sesuai dengan persyaratan perundangan-undangan, sedangkan 10
perusahaan (3,88%) perusahaan belum melakukan usaha pengelolaan atau dengan
sengaja melakukan perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan pencemaran
lingkungan (Negara Lingkungan Hidup Indonesia, 2009 dan 2010).
Melihat beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan perusahaan terhadap
lingkungan dan hasil penilaian Proper di atas, menunjukkan masih rendahnya tanggung
jawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Beberapa
kasus pelanggaran lingkungan yang dilakukan perusahaan besar dalam pengelolaan
sosial dan lingkungan yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah kasus PT Freeport
Indonesia yang terjadi di Papua, kasus TPST Bojong di Bogor, kasus PT Newmont di
Teluk Buyat, dan kasus lumpur panas di ladang migas PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo
dan lain-lainnya. Beberapa kasus tersebut mengakibatkan perusahaan mengeluarkan
anggaran yang tidak kecil bahkan terhenti operasinya sebagai akibat adanya
keluhan/protes dan tuntutan yang dilakukan masyarakat sekitar perusahaan.
Penelitian yang dilakukan Hill et al. (2007), memberikan gambaran yang
mendukung pelaksanaan CSR sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. Hill et al.
melakukan penelitian terhadap beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia
yang melakukan praktik CSR dan menghubungkannya dengan value perusahaan yang
diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Penelitiannya menemukan
bukti bahwa setelah mengontrol variabel-variabel lainnya, perusahaan-perusahaan yang
melakukan CSR pada jangka pendek (3-5 tahun) tidak mengalami kenaikan nilai saham
yang signifikan. Namun, dalam jangka panjang (10 tahun) perusahaan-perusahaan yang
berkomitmen terhadap CSR tersebut, mengalami kenaikan nilai saham yang sangat
signifikan dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan praktik
CSR.
Untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi yang tinggi, perusahaan perlu
mengungkapkan kinerja CSR dalam “laporan CSR” atau “laporan keberlanjutan”
( sustainability report). Perusahaan yang menerapkan program CSR melakukan
serangkaian proses sejak desain atau perencanaan program, implementasi program,
monitoring program, evaluasi program hingga membuat pelaporan (Wibisono, 2007).
Sehingga dapat dikatakan bahwa proses terakhir dari penerapan program CSR adalah
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Analisis Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis dan Praktik “Corporate Governance” … | 241
reporting, dan dari seluruh proses yang terjadi merupakan langkah-langkah yang
berkesinambungan. Melalui laporan ini akan terungkap apakah tingkat keterbukaan
perusahaan sudah sesuai dengan harapan masyarakat (Darwin, 2006). Hal tersebut
sesuai dengan asumsi bahwa terdapat kontrak sosial antara perusahaan dengan
masyarakat. Berkenan dengan praktik tanggung jawab sosial perusahaan, menurut
Darwin (2005), pada saat ini berkembang pelaporan keuangan yang dikenal dengan
sustainability report (SR). Paradigma sustainability report, mewajibkan perusahaan-
perusahaan untuk melaporkan aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang
terjadi di perusahaan (Darwin 2004). Hal ini memberi makna bahwa perusahaan tidak
hanya mengejar keuntungan untuk pribadi pemilik tetapi juga harus memberi nilai
tambah pada masyarakat dan lingkungan.
Institute Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM)
yang sekarang berubah menjadi Institute Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI),
menyambut baik S ustainability Reporting dan CSR yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan di Indonesia dengan memberikan Indonesian S ustainability Reporting
Awards (ISRA). Pelaksanaan ISRA dimulai pada tahun 2005 yang diikuti sebanyak 7
perusahaan dan tahun 2010 ISRA diikuti sebanyak 23 perusahaan ( National Center for
Sustainability Report, 2010). Meskipun dilihat dari jumlahnya peserta ISRA mengalami
peningkatan setiap tahunnya, namun jika dibandingkan jumlah seluruh perusahaan di
Indonesia maka peserta ISRA masih kurang dari 10%. Hal ini mengindikasikan bahwa
program CSR belum diklaksanakan secara baik oleh perusahaan-perusahaan di
Indonesia.
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) mempunyai keterkaitan yang erat
dengan g ood corporate governance. Seperti dua sisi mata uang, keduanya memiliki
kedudukan yang kuat dalam dunia bisnis, namun juga berhubungan satu sama lain. Pada
dasarnya tanggung jawab sosial perusahaan berorientasi kepada para stakeholders. Hal
ini sesuai dengan salah satu prinsip good corporate governance yaitu responsibility
yang lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Menurut Reksodiputro (2004):
“konsep c orporate social responsibilities merupakan bagian pedoman melaksanakan
good corporate governance. Masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin
mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal
dalam menghadapi perusahaan mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation”
terlihat gagal, maka diperlukan peraturan baru yang akan memberikan “higher
standards for corporate practice” dan “tougher penalties for executive misconduct”.
Secara umum, corporate governance merupakan sarana, mekanisme, dan
struktur yang berperan sebagai pengawasan atas self-serving behavior manajer (Short et
al.,1999). Pengelolaan perusahaan yang terbuka ( transparent) dan accountable bisa
mencegah terjadinya self-serving behavior. Seperti diungkapkan oleh Keasey dan
Wright (1997), ‘ its (corporate governance’s) key elements concern the enhancement of
corporate performance via the supervision, or monitoring, of management performance
and ensuring the accountability of management to shareholders and other stakeholders.
Corporate governance dapat diartikan sebagai interaksi antara struktur dan
mekanisme yang menjamin adanya control dan accountability, namun tetap mendorong
efisiensi dan kinerja perusahaan (Salowe, 2002). Mencuatnya konsep corporate
governance di Indonesia merupakan reaksi atas perilaku para pengelola perusahaan
yang tidak memperhitungkan stakeholdernya. Hal ini terungkap dengan jelas ketika
krisis menimpa negeri ini (Djatmiko, 2001), sehingga banyak perusahaan yang merugi
bahkan ditutup.
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011

242 | Prasetyono

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah “Seberapa besar pengaruh ukuran perusahaan, penerapan etika bisnis, dan
praktik corporate governance terhadap penerapan tanggung jawab sosial perusahaan
secara simultan dan parsial”.

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
Kajian Pustaka
Teori umum ( grand theory) dalam penelitian didasarkan pada theory of the firm
yang dikemukakan Coase (1937), yang berpendapat bahwa perusahaan merupakan
sebuah badan usaha yang bertujuan untuk mengalokasikan aktivitas produksi secara
efisien. Menurut Coase (1937) untuk menciptakan efisiensi di dalam perusahaan dapat
dilakukan melalui pendelegasian wewenang melalui kontrak yang ada pada sebuah
perusahaan, apabila mekanisme produksi dan pertukanan barang sepenuhnya
berdasarkan pada mekanisme pasar. Sehingga dengan terciptanya efisiensi, diharapkan
perusahaan mampu menciptakan kesejahteraan kepada pemiliknya.
Adapun teori antara ( middle theory) dalam penelitian ini adalah teori agensi
( agency theory) yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976), yang
mendasarkan pada sifat perusahaan dan hubungan kerjasama antara prinsipal dan agen.
Jadi manajemen bertindak secara oportunistik untuk kepentingan individu. Menurut
Eisenhardt (1989).
Aplikasi teori dalam penelitian terdiri dari positive accounting theory (Watts dan
Zimmerman, 1986) dan stakeholder theory (Freeman, 1984). Watts dan Zimmerman
(1986) dan stakeholder theory yang dikemukakan oleh Freeman (1984). Menurut
Freeman (1984), perusahaan adalah organ yang berhubungan dengan pihak lain yang
berkepentingan, baik yang ada di dalam maupun di luar perusahaan. Teori stakeholder
mengasumsikan bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh para stakeholders.
Teori stakeholder memiliki bidang etika (moral) dan manajerial. Bidang etika
memberi argumentasi bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk diperlakukan
secara adil oleh organisasi, dan perusahaan harus dikelola untuk memberikan
keuntungan kepada seluruh stakeholder (Deegan, 2004). Sedangkan bidang manajerial
berargumentasi bahwa kekuatan stakeholder untuk mempengaruhi manajemen
perusahaan harus dipandang sebagai fungsi pengendalian yang dilakukan stakeholder
atas sumber daya yang dibutuhkan organisasi (Watts dan Zimmerman, 1986).

Hubungan Ukuran Perusahaan dan Corporate Social Responsibility
Ukuran perusahaan sering dijadikan sebagai variabel penjelas dalam penelitian.
Dihubungkan dengan tanggung jawab sosial, semakin besar ukuran perusahaan maka
biaya politiknya akan semakin besar, sehingga pengungkapan tanggung jawab sosial
juga semakin besar. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar ukuran perusahaan,
maka semakin besar perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan. Kondisi tersebut terjadi sebagai konsekuensi ruang lingkup operasi
perusahaan yang semakin besar dan jumlah stakeholdernya semakin besar. Penelitian
hubungan ukuran perusahaan diantaranya dilakukan oleh Udayasankar (2008) dan
Hackston dan Milne (1996).

Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Analisis Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis dan Praktik “Corporate Governance” … | 243
Hubungan Etika Bisnis dan Corporate Social Responsibility
Hubungan etika bisnis dengan tanggung jawab sosial dapat ditelaah dari teori
stakeholder dan positif accounting theory. Tanggung jawab perusahaan merupakan
wujud tindakan etis yang dilakukan oleh perusahaan sebagai wujud tanggung jawab
sosial perusahaan (Deegan, 2004). Menurut Kristoffersen, et al. (2005), tanggung jawab
sosial perusahaan tumbuh dari adanya etika bisnis yang mempunyai tiga dimensi yaitu:
a) corporate governance; b) tanggung jawab sosial perusahaan; dan c) akuntabilitas
lingkungan. Hal Ini berarti perusahaan yang menerapkan atau mempunyai etika bisnis
mempunyai komitmen yang besar dalam aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan.
Dilihat dari positive accounting theory, perusahaan yang menerapkan etika
bisnis akan mengungkapkan tanggung jawab sosial lebih banyak dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak menerapkan etika bisnis. Hal ini disebabkan agency cost yang
yang terjadi pada perusahaan lebih rendah.

Hubungan Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility
Corporate governance dan corporate social responsibility merupakan dua
strategi yang tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi mata uang (Bhimani dan
Soonawalla,
2003).
Keberadaannya berjalan beriringan untuk mencapai keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang. Meskipun corporate governance dan corporate social responsibility berhubungan dengan responsibility, namun ke-
empat prinsip corporate governance tersebut memberikan penekanan pada kepentingan
pemegang saham ( shareholders). Sehingga ke-empat prinsip dalam corporate
governance tersebut lebih mencerminkan shareholders-driven concept.
Beberapa pakar mengatakan bahwa corporate governance merupakan pilar
dalam melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pendapat tersebut diperkuat
oleh ISO 26000 dan Global Reporting Initiative (GRI) mengenai pedoman pengukuran
tanggung jawab sosial perusahaan, yang menempatkan corporate governance sebagai
landasan dalam pelaksanaan corporate social responsibility. Bidang manajerial dalam
teori stakeholder berargumen bahwa kekuatan stakeholder didalam perusahaan
merupakan fungsi pengendalian yang dilakukan oleh perusahaan dalam penggunaan
sumber daya yang digunakan oleh perusahaan. Sehingga manajemen perusahaan dalam
bertindak tidak hanya mementingkan individu manajer atau perusahaan, namun juga
mempertimbangkan stakeholder lainnya.

Hipotesis
Ukuran perusahaan, penerapan etika bisnis dan praktik corporate governance
secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap tanggung jawab sosial perusahaan.

METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah explanatory
research. Penelitian ini dilakukan dengan menguji dan menganalisis hipotesis hubungan
kausal variabel independen dan dependen baik secara simultan dan parsial. Adapun
teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel acak sederhana ( simple
random sampling). Data yang terkumpul dan layak untuk dianalisis dalam penelitian ini
berjumlah 59 emiten.

ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011

244 | Prasetyono
Operasionalisasi Variabel
Secara ringkas operasionalisasi variabel dalam penelitian ini dapat dilihat
Lampiran 1

Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh langsung dari responden yang menjadi anggota sampel.
Pengumpulan data diperoleh dengan cara memberikan kuesioner ( mail quesioner), yang
berisi daftar pertanyaan/pernyataan terstruktur yang ditujukan kepada responden
(sekretaris perusahaan atau pihak yang ditugasi). Data sekunder diperoleh dari laporan
keuangan perusahaan.

Metode Analisis data
Agar data penelitian mempunyai ketepatan dan kehandalan, maka dilakukan
pengujian yaitu test of validity (uji kesakhihan) dan test of reliability (uji kehandalan),
guna menguji kesungguhan jawaban responden. Sebelum dianalisis, maka skala ordinal
dinaikkan ke skala interval dengan program MSI ( method sussesive interval) Pengujian
hipotesis penelitian ini menggunakan analisis analisis jalur ( path analysis).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengaruh Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis dan Praktik
Corporate Governance Terhadap Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Secara Simultan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis (lampiran 2 dan 3), dapat disimpulkan
bahwa secara simultan atau bersama-sama ukuran perusahaan, penerapan etika bisnis
dan praktik corporate governance berpengaruh signifikan terhadap penerapan tanggung
jawab sosial. Besarnya pengaruh ukuran perusahaan, penerapan etika bisnis dan praktik
corporate governance terhadap penerapan tanggung jawab sosial perusahaan adalah
sebesar 30,5%, sedangkan besarnya nilai ε1 adalah 83,3%. Hal ini berarti bahwa variabel
lain (yang tidak diteliti), mempengaruhi penerapan tanggung jawab sosial perusahaan
sebesar 83,3%. Peneliti menduga bahwa terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi
penerapan tanggung jawab sosial perusahaan diantaranya adalah besarnya dana,
komitmen manajer dan perusahaan serta budaya perusahaan.
Berkenaan dengan teori stakeholder, Hackston dan Milne (1996)
mengemukakan bahwa manajemen tidak hanya bertanggungjawab kepada investor dan
manajemen tetapi juga kepada masyarakat yang lebih luas. Penelitian ini konsisten pada
positive accounting theory yang dikemukan Watts dan Zimmermen (1986), mengenai
faktor yang melatarbelakangi perilaku oportunistik manajer dalam melakukan praktik
manajemen laba yaitu: karena alasan untuk mendapatkan bonus dan pergantian CEO.
Berdasarkan studi empirik yang telah dilakukan beberapa ahli menunjukkan bahwa
aktivitas pengungkapan CSR beragam pada semua perusahaan, industri, dan waktu
(Gray et al., 1995, 2001 dan Hackston and Milne, 1996). Studi empirik lain juga
menunjukkan bahwa perilaku pengungkapan CSR sangat penting dan secara sistematis
dipengaruhi oleh variasi perusahaan dan karakteristik industri yang mempengaruhi
biaya-manfaat pengungkapan seperti informasi (Belkaoui and Karpik, 1989; Cormier
and Magnan, 2003; Cormier et al., 2005; Hackston and Milne, 1996; Patten, 2002).
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Analisis Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis dan Praktik “Corporate Governance” … | 245

Pengaruh Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis, dan Praktik Corporate
Governance Terhadap Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Secara
Parsial

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Penerapan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis (lampiran 2 dan 3), dapat disimpulkan
bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerapan
tanggung jawab sosial perusahaan. Berdasarkan koefesien jalur yang bertanda positif
menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan, maka pelaksanaan penerapan
tanggung jawab sosial perusahaan semakin baik.
Pada umumnya perusahaan yang besar mengungkapkan lebih banyak informasi
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan besar pada umumnya mempunyai
jenis produk yang banyak, sistem informasi yang canggih, serta struktur kepemilikan
yang lengkap, sehingga memungkinkan dan membutuhkan tingkat pengungkapan secara
luas. Penelitian ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Belkaoui dan Karpik
(1989), Adam et. al., (1998), Hackston dan Milne (1996), Kokubu et. al., (2001),
Hasibuan (2001), Sembiring (2005) dan Anggraini (2006), yang menemukan hubungan
antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial. Sedangkan
Roberts (1992), Sigh dan Ahuja (1983), Davey (1982) dan Ng (1985) tidak menemukan
hubungan keduanya

Pengaruh Penerapan Etika Bisnis Terhadap Penerapan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis (lampiran 2 dan 3), dapat disimpulkan
bahwa penerapan etika bisnis berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan
tanggung jawab sosial perusahaan. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin baik
penerapan etika bisnis, maka pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan semakin
baik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hackston
dan Milne (1996) dan Anggraini (2006). Pada umumnya perusahaan yang besar akan
mengungkapkan informasi yang lebih banyak daripada perusahaan kecil. Hal ini untuk
mengurangi biaya keagenan yang seharusnya dikeluarkan. Selain itu, perusahaan-
perusahaan ini memiliki jumlah aktiva yang besar, penjualan yang besar, sistem
informasi yang canggih, jenis produk yang banyak, serta skill karyawan yang baik,
sehingga memungkinkan dan membutuhkan tingkat pengungkapan secara luas yang
dilakukan dengan prosedur dan standar yang berlaku.

Pengaruh Praktik Corporate governance Terhadap Penerapan Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis (lampiran 2 dan 3), dapat disimpulkan
bahwa praktik corporate governance berpengaruh positif dan signifikan terhadap
tanggung jawab sosial perusahaan. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin baik
penerapan etika bisnis, maka pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan semakin
besar.
Gossling dan Voucht (2007) mengatakan bahwa CSR dapat dipandang sebagai
kewajiban dunia bisnis untuk menjadi akuntabel terhadap seluruh stakeholder, bukan
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011

246 | Prasetyono
hanya terhadap salah satu stakeholder saja . Jika perusahaan tidak memberikan
akuntabilitas kepada seluruh stakeholder yang meliputi karyawan, pelanggan,
komunitas, lingkungan lokal/global, pada akhirnya perusahaan tersebut akan dinilai
buruk dan tidak akan mendapatkan dukungan dari masyarakat.Ini mengisyaratkan dalam
kaidah Good Corporate governance (GCG) tampaknya juga memberikan perhatian
khusus terhadap lingkungan sosial masyarakat.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Adapun simpulan penelitian ini adalah:
1. Ukuran perusahaan, penerapan etika bisnis dan praktik corporate governance secara
simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan tanggung jawab
sosial perusahaan
2. Penerapan etika bisnis dan praktik corporate governance secara parsial berpengaruh
positif dan signifikan terhadap penerapan tanggung jawab sosial perusahaan,
sedangkan ukuran perusahaan secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap
penerapan tanggung jawab sosial perusahaan.

Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian yang dikemukakan, maka saran-saran
yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk lebih meningkatkan penerapan etika bisnis dan praktik corporate governance
secara lebih baik dan optimal dapat dilakukan melalui peningkatan komitmen setiap
individu didalam perusahaan, serta dengan pemberian reward dan punishment
secara tertulis yang dilaksanakan secara obyektif, rasional dan adil.
2. Agar pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan bukan merupakan upaya
perusahaan yang hanya untuk tujuan menyenangkan hati ( lip service) masyarakat
dan stakeholder lainnya atau lebih cenderung bersifat formalitas dan seremonial
saja, tetapi merupakan suatu upaya yang dilakukan perusahaan untuk tujuan
keberlanjutan usahanya ( sustainability).
3. Didiperlukan adanya audit sosial yang memastikan bahwa pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan dilaksanakan secara benar dan bertanggungjawab, bukan
upaya pencitraan perusahaan.
4. Bagi peneliti lain yang berminat untuk meneliti praktik tanggung jawab sosial
perusahaan, dapat mengembangkan variabel lain seperti budaya organisasi,
komitmen organisasi, audit sosial dan kinerja dengan dimensi yang lebih
komprehensif.

Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Analisis Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis dan Praktik “Corporate Governance” … | 247
DAFTAR PUSTAKA

Adam, C.; W., Hill.; C., Roberts. 1998. Corporate Social Reporting Practices in Western
Europe. British Accounting Review. Vol. 30. No. 1. Pp. 1-21.
Anggraini, F. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial Dalam Laporan Keuangan
Tahunan (Studi Empiris Pada Perusahaan-Perusahaan Yang Terdaftar Bursa
Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi IX. Universitas Andalas.
Baron, David. 2001. Private Politics, Corporate Social Responsibility and Integrated
Strategy. Journal of Economics and Management Strategy. Vol. 10. Pp. 7-45.
Berle, A and Gariner, M. 1934. The Modern Corporation and Private Property.
Macmilan. New York.
Bhimani, A. and Soonawalla, K. 2005. From Conformance to Performance: The
Corporate Responsibilities Continuum. Journal of Accounting and Public Policy.
Vol.24. Pp. 165-174.Coase, Ronald H. 1937. The Nature of The Firm. Economica.
Vol. 4. Pp. 386-405.
Black, B., Jang, H., dan Kim, W. (2003), Does Corporate Governance Affect Firm
Value? Evidence from Korea, Research Paper Series, , KDI School of Public
Policy and Management. Volume. 05. No. 11.
Branco, Manuel Castelo dan Lućia Lima Rodrigues. 2008. Factors Influencing Social
Responsibility Disclosure by Portuguese Companies. Journal of Business Ethics.
Vol. 83. Pp. 685–701.
Cormier, D. and Magnan, M. 1999. Corporate Environmental Disclosure Strategies:
Determinant, Cost and Benefit. Journal of Accounting, Auditing and Finance.
Vol. 14. No. 4. Pp. 429-451.
Daniri, Mas Ahmad.2005. Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya di
Indonesia. Ray Indonesia. Jakarta.
Daniri, Mas Achmad. 2004. Membudayakan ‘Good Corporate Governance’
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0404/15/ekonomi/970822.
Darwin, Ali. 2006. Akuntabilitas, Kebutuhan, Pelaporan dan Pengungkapan CSR Bagi
Perusahaan di Indonesia. EBAR (Economic Business Accounting Review).
Corporate Social Responsibility. Edisi III/September-Desember 2006.
DeFond M. L. and Jimbalvo, J. 1993. Factors Related to Auditor-Client Disagreements
Over Income-Increasing Accounting Methods. Contemporary Accounting
Research. Vol. 9. No. 2. Pp. 415-431.
Diacon, S. R. and Ebbew, C. T. 1996. Can Business Ethics Enhance Corporate
Governance? Evidence From a Survey of UK Insurance Executives. Journal of
Business Ethics. Vol. 15. Pp. 623-634.
Eisenberg, T. S.; Sundgren, S. and M. Wells. 1998. Larger Board Size and Decreasing
Firm Value In Small Firms. Journal of Financial Economics. Vol. 48. Pp.35-54
Feddersen, Timothy and Thomas Gilligan. 2001. Saints and Markets: Activists and The
Supply of Credence Goods. Journal of Economics and Management Strategy.
Vol. 10. Pp. 149-171.
Frederick, W. C. 1994. From CSR1 to CSR2: The Maturing of Business and Society
Thought. University of Pittsburgh Graduate School of Business.
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011

248 | Prasetyono
Ficher, Marilyn and Kenneth, Rozenzweig. 1995. Attitudes of Students and Accounting
Practitioners. Journal of Business Ethics. Vol. 14. No. 6. Pp. 433-444
Forum for Corporate Governance in Indonesia. Corporate Governance Self Assessment
Checklist. Seri Tata Kelola Perusahaan Jilid III (Edisi ke-2). Jakarta: FCGI
Bekerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), 2001.
Global Reporting Initiatives. 2006. Sustainability Reporting Guidelines. GRI, CERES
Boston.
Gossling, T and Voucht, C. 2007, Social Role Conception and CSR Policy Success,
Journal of Business Ethics. Vol. 74. Pp. 363-372
Gray, R, Kouhy, R. and Lavers, S. 1995. Corporate Social and Environmental
Reporting: A Review of The Literature And A Longitudinal Study of Uk
Disclosure. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 8. No. 2. Pp.
47-77.
Gray, R; Owen D. and Adams, C. 1996. Accounting and Accountability: Changes and
Challenges in Corporate Social and Environmental Reporting. Prentice Hall
Europe. Hemel Hempstead.
Gupta, G. L. and Sulaiman, Muhamed. 1996. Ethical Orientations of Managers in
Malaysia. Journal of Business Ethics. Volume. 13. Pp 735-748.
Hackston, D. and Milne, M. 1996. Some Determinants of Social and Environmental
Disclosures in New Zaeland Companies. Accounting, Auditing, and
Accountability Journal. Vol. 9. No 1. Pp. 77-108.
Haniffa, R. M. and Cooke, T. E. 2005. The Impact of Culture and Governance on
Corporate Social Reporting. Journal of Accounting and Public Policy. Vol. 24.
Pp. 391-430.
Hasibuan. 2006. CSR Communications: A Challenge on Its Own. Economics Business
& Accounting Review. Edisi III/ September-Desember.
Hill, R.P.; Thomas A.; Todd S. and Daryl. 2007. Corporate Social Responsibility and
Socially Responsible Investing: A Global Perspective. Journal of Business
Ethics. Volume 76. Pp. 165-174.
Holthausen R.W. and Leftwich R.W. 1983. The Economic Consequences of Accounting
Choise: Implications of Costly Contracting and Monitoring. Journal of
Accounting and Economics. Vol. 6. No. 1. Pp. 69-87.
Jensen, Michael C. and Meckling, William H. 1976. Theory of The Firm: Managerial
Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial
Economics. Vol. 3. Pp. 305-360.
Juholin, Elisa. 2004. For Business or The Good of All? A Finnish Approach to
Corporate Social Responsibility. Corporate Governance. Vol. 4. No. 3. Pp. 20-
31.
Keasey, K and Wright, M. 1997. Corporate Governance: Responsibilities, Risk and
Remuneration. John Wiley & Sons.
Keraf, A. Sonny. 1998. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Edisi Baru.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kin, H. S. 1990. Corporate Social Responsibility Disclosures in Malaysia. Akuntan
Nasional. January: 4-9.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

Analisis Ukuran Perusahaan, Penerapan Etika Bisnis dan Praktik “Corporate Governance” … | 249
Klein, A. 2002. Audit Committee, Board of Directors Characteristics and Earnings
Management. Journal of Accounting and Economics. Vol. 33. No.3. Pp. 375-
400.
Kokubu, Katsuhiko, Akihiro Noda, Yasushi Onishi, dan Tomomi Shinabe . 2001.
Determinants of Environmental Report Publication in Japanese Companies. The
third Asia Pacific Interdisciplinary Research in Accounting Conference:
Adelaide Australia.
Kristoffersen, Inga; Gerrans, Paul and Clark-Murphy. 2005. Corporate Social
Performance and Financial Characteristics: Australian Evidence on The Finance
to Self-Regulate on Environmental, Social and Governance Criteria. School of
Accounting, Finance and Economics & FIMARC Working Paper Series.
Working Paper 0515.
Lang, Mark and Lundholm, Russell. 1993. Cross-Sectional Determinants of Analyst
Ratings of Corporate Disclosures. Journal of Accounting Research. Vol. 31. No.
2. Pp. 246-271.
Lim, Ying Zhee; Talha, Mohammad; Junaini Mohamed and Abdullah Sallehhuddin.
2008. Corporate Social Responsibility Disclosure and Corporate Governance in
Malaysia. International Journal Behavioral Accounting and Finance. Vol. 1.
No. 1. Pp. 67-89.
Machfoedz, M. 1994. Financial Ratio Analysis and The Prediction of Earnings Changes
in Indonesia. Kelola. Gajah Mada University Business Review. Vol. 7. No. III.
Midiastuty, Pratana P. dan Mas’ud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Mekanisme
Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Simposium Nasional
Akuntansi VI. Surabaya.
Milne, M.J. and Pattern, D.M. 2002. Securing Organizational Legitimacy: An
Experimental Decision Case Examining The Impact of Environmental
Disclosures. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 15. No. 3.
Pp. 372-405.
McWilliams, Abagail and Siegel Donald. 2001. Corporate Social Responsibility: A
Theory of the Firm Perspective. The Academy of Management Review. Vol 26.
No. 1. Pp. 117-127.
Meek, G.K.: Roberts, C.B. and Gray, S.J. 1995. Factors Influencing Voluntary Annual
Report Disclosure By US, UK And Continental European Multinational
Corporations. Journal of International Business Studies. Third Quarters.
Pp.555–572.
Merchant, Kenneth A. and Joanne, Rockness. 1994. The Ethics of Managing Earning:
An Empirical Investigation. Journal of Accounting and Public Policy. Vol. 13.
No. 1. Pp. 79-94.
Ng, L. W. 1985. Social responsibility disclosures of selected New Zealand companies
for 1981, 1982, 1983. Occasional Paper. No. 54, Massey University,
Palmerston North.
OECD. 1999. Principles of Corporate Governance. OECD, Paris.
Patten, D. M. 1992. Intra-Industry Environmental Disclosures in Response to The
Alaskan Oil Spill: A Note on Legitimacy Theory. Accounting, Organizations
and Society. Vol. 17. No. 5. Pp. 471–475.
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011

250 | Prasetyono
Peasnell, K.V; Pope, P. F. and Young, S. 2001. Board Monitoring and Earnings
Management: Do Outside Directors Influence Abnormal Accruals. Accounting
and Business Research. Vol. 30. Pp. 41 -63.
Peasnell, K.V; Pope, P. F. and Young, S. 1998. Outside Directors, Board Effectiveness
and Earnings Management. Working Paper. Lancaster University, UK. Pp. 1-
28.
Prowson, S. 1999. Corporate governance in East Asia: a framework for analysis.
ESCAP. http://www.unescap.org/drpad/publication/dp20_1973/dp_20 Scott, W.
rd
R. 2003. Financial Accounting Theory. 3 Edition. Toronto: Prentice Hall.
Roberts, R.W. 1992. Determinants of Corporate Responsibility Disclosure. Accounting,
Organizations and Society. Vol. 17. No. 6. Pp. 595-612.
Salno, H.N., dan Zaki Baridwan. 2000. Analisis Perataan Penghasilan (Income
Smoothing): Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dan Kaintannya dengan Kinerja
Saham Perusahaan Publik di Indonesia. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.
3. No. 1. Januari. hal 17-34.
Short, Helen et. Al. 1999. Corporate Governance: From Accountability to Enterprise.
Accounting and Business Research. Volume. 29. No. 4. Hal. 337-352.
Singh, D.R. and Ahuja, J.M. 1983. Corporate social reporting in India. International
Journal of Accounting. Vol. 18. No. 2, pp. 151-70.
Syakhroza, Ahmad. 2002. Mekanisme Pengendalian Internal dalam Melakukan
Assessment Pelaksanaan Good Corporate Governance. Manajemen Usahawan.
No. 08 Tahun XXXI, Agustus: 41-52.
Tjager, Nyoman I et. al. (2003)., Corporate Governance., Jakarta: PT Prehalindo.
Udayasankar, Krishna. 2008. Corporate Social Responsibility and Firm Size. Journal of
Business Ethics. Volume: 83. Issue: 2 Pages: 167-175.
Veronica, Siregar N.P. dan Bachtiar. Yanivi S. 2004. Good Corporate Governance
Information Asymetry and Earnings Management. Simposium Nasional
Akuntansi VII.
Waldman, David; Donald S. Siegel and Mansour Javidan. 2004. CEO Transformational
Leadership and Corporate Social Responsibility. Rensselaer Working Papers in
Economics. No. 0415. June 2004.
Wallace, R. S. O.; Naser, K. and Mora, A. 1994. The Relationship Between The
Comprehensiveness of Corporate Annual Reports and Firm Characteristics In
Spain. Accounting and Business Research. Vol. 25. No. 97. Pp. 41-53.
Watts, Ross L. and Zimmerman, Jerold L. 1986. Positive Accounting Theory. Prentice-
Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.
Wibisono. Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR ( Corporate Social
Responsibility). Fascho Publishing. Gresik.
Yermack, D. 1996. Higher Market Valuation of Companies with Small Board of
Directors. Journal of Financial Economics. Vol. 40. Pp.185-211.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora

JURNAL II :

MENJALANKAN BISNIS SECARA ETIS DAN BERTANGGUNG JAWAB

Setia Budhi Wilardjo

Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Semarang

Abstrak

Etika merupakan keyakinan mengenai tindakan yang benar dan yang salah, atau tindakan yang baik dan yang buruk, yang mempengaruhi hal lainnya. Nilai-nilai dan moral pribadi perorangan dan konteks sosial menentukan apakah suatu perilaku tertentu dianggap sebagai perilaku yang etis atau tidak etis. Etika bisnis adalah istilah yang biasanya berkaitan dengan perilaku etis atau tidak etis yang dilakukan oleh manajer atau pemilik suatu organisasi. Etika mempengaruhi perilaku pribadi di lingkungan kerja. Tanggung jawab sosial adalah sebuah konsep yang berhubungan, namun merujuk pada seluruh cara bisnis berupaya menyeimbangkan komitmennya terhadap kelompok dan pribadi dalam lingkungan sosialnya. Kelompok dan individu itu sering kali disebut sebagai pihak yang berkepentingan dalam organisasi. Mereka adalah kelompok, orang, dan organisasi yang dipengaruhi langsung oleh praktek-praktek suatu organisasi dan dengan demikian berkepentingan terhadap kinerja organisasi itu. Pihak-pihak utama yang berkepentingan dalam korporasi yaitu karyawan, investor, komunitas lokal, pelanggan, pemasok.

Kata Kunci : Etika Individual, Etika Bisnis, Etika Manajerial, Tanggung Jawab Sosial

PENDAHULUAN

Sebenarnya apakah yang dimaksud perilaku etis itu ? Etika merupakan keyakinan

mengenai tindakan yang benar dan yang salah, atau tindakan yang baik dan yang buruk, yang

mempengaruhi hal lainnya. Nilai-nilai dan moral pribadi perorangan dan konteks sosial

menentukan apakah suatu perilaku tertentu dianggap sebagai perilaku yang etis atau tidak

etis. Dengan kata lain, perilaku etis merupakan perilaku yang mencerminkan keyakinan

perseorangan dan norma-norma sosial yang diterima secara umum sehubungan dengan

tindakan-tindakan yang benar da baik. Perilaku tidak etis adalah perilaku yang menurut

keyakinan perseorangan dan norma-norma sosial dianggap salah atau buruk. Etika bisnis

adalah istilah yang biasanya berkaitan dengan perilaku etis atau tidak etis yang dilakukan

oleh manajer atau pemilik suatu organisasi (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).

Menurut Manuel G. Velasquez (2006), Ethics is the discipline that examines your

moral standards or the moral standards of a society to evaluate their reasonableness and

their implications for one’s life. Moralty is the standards that an individual or a group has

about what is right and wrong or good and evil. Moral Norms and Nonmoral Norms are from

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 1

the age of three we can distinguished moral from nonmoral norms, from the age of three we tend to think that moral norms are more serious than nonoral norms and apply everywhere independent of what authorities say and the ability to distinguished moral from nonmoral norms in innate and universal.

On the other hand, Velasquez (2006) said that Business Ethics is a specialized study of moral right and wrong that concentrates on moral standards as they apply to business institutions, organizations, and behavior. Business Ethic is Applied Ethics. It is the application of our understanding of what is good and right to that assortment of institutions, technologies, transactions, activities, and pursuits that we call business.

Etika Individual

Karena didasarkan pada konsep sosial dan keyakinan perorangan, etika dapat bervariasi dari satu orang ke orang lainnya, dari satu situasi ke situasi lainnya, serta dari satu budaya ke budaya lainnya. Cakupan standar sosial, cenderung cukup mendukung beberapa perbedaan keyakinan. Tanpa melanggar standar umum suatu budaya, individu dapat mengembangkan kode etik pribadi yang mencerminkan beragam sikap dan keyakinan.

Dengan demikian, perilaku etis dan tidak etis sebagian ditentukan oleh individu dan sebagian ditentukan oleh budaya. Sebagai contoh, sesungguhnya setiap orang sepakat bahwa jika Anda melihat seseorang menjatuhkan uang Rp. 100.000,00-nya, Anda bertindak etis dengan mengembalikannya kepada si pemilik. Akan tetapi Anda tidak dapat seyakin itu kalau menemukan uang Rp. 100.000,00 dan tidak tahu siapa yang menjatuhkannya?

Ambiguitas, Hukum, dan Dunia Nyata

Masyarakat umumnya menerapkan undang-undang formal yang mencerminkan standar etis atau norma sosial yang berlaku. Sebagai contoh, karena kebanyakan orang menganggap pencurian merupakan perilaku tidak etis, kita mempunyai undang-undang melawan perilaku tersebut dan cara menghukum orang yang mencuri. Kita berupaya membuat undang-undang yang tidak bersifat ambigu, namun penafsiran dan penerapannya dapat menyebabkan ambiguitas. Situasi dunia nyata sering dapat ditafsirkan berbeda, dan menerapkan aturan baku ke dunia nyata tidak selalu mudah (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).

Sayangnya, epidemi skandal terbaru yang berkisar dari Arthur Anderson, Enron hingga Martha Stewart, Tyco, dan WorldCom hanya sebatas menunjukkan seberapa besar orang ingin memanfaatkan situasi yang secara potensial bersifat ambigu – situasi inilah yang sesungguhnya memunculkan skandal tersebut (Penelope Patsuris, 2002). Pada tahun 1997,

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 2

perusahaan Amerika Serikat bernama Tyco secara efektif menjual dirinya dalam merger dengan sebuah perusahaan yang bernama ADT Ltd. ADT lebih kecil dari Tyco, tetapi karena perusahaan induk barunya itu berbasis di wilayah tanpa pajak Bermuda, Tyco tidak lagi harus membayar pajak Amerika Serikat atas pendapatan non-AS-nya. Pada tahun 2000 dan 2001, jumlah cabang-cabang Tyco di negara-negara yang “ramah pajak” menjadi dua kali lipat dari

75 menjadi 150, dan perusahaan menghindari tagihan pajak Amerika Serikat tahun 2001-nya sebesar $600 juta. “Tyco,” keluh seorang anggota senat Amerika Serikat, “telah melakukan seni menghindari pajak,” namun seorang ahli pajak berpendapat bahwa skema Tyco “sangat konsisten” dengan peraturan pajak Amerika Serikat (www.tyco.com).

Kode dan Nilai Individu

Bagaimana kita berhadapan dengan perilaku bisnis yang kita anggap tidak etis, khususnya bila bersifat ambigu secara hukum ? Jelas kita harus mulai dengan individu-individu dalam bisnis – manajer, karyawan, agen, dan perwakilan hukum lainnya. Kode etik pribadi masing-masing orang ini ditentukan oleh kombinasi sejumlah faktor. Kita mulai membentuk standar etis sebagai seorang anak sebagai tanggapan kita atas perilaku orang tua dan orang dewasa lainnya. Kemudian kita masuk sekolah, di mana kita dipengaruhi teman-teman sekolah, dan ketika kita tumbuh menjadi dewasa, pengalaman membentuk hidup kita dan berkontribusi pada keyakinan etis dan perilaku kita. Kita juga mengembangkan nilai-nilai dan moral yang berkontribusi pada standar etis. Jika Anda menempatkan pendapatan finansial pada puncak daftar prioritas Anda, Anda bisa mengembangkan satu kode etik yang mendukung pengejaran kenikmatan material, Jika Anda menempatkan keluarga dan teman sebagai prioritas, Anda akan menganut standar yang berbeda (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).

Etika Bisnis dan Etika Manajerial

Etika manajerial merupakan standar perilaku yang memandu manajer dalam pekerjaan mereka. Walaupun etika Anda dapat mempengaruhi kerja Anda dalam sejumlah hal, tidak ada ruginya menggolongkan dalam tiga kategori yang luas.

Perilaku Terhadap Karyawan

Kategori ini meliputi materi seperti merekrut dan memecat, menentukan kondisi upah dan kerja, serta memberikan privasi dan respek. Pedoman etis dan hukum mengemukakan bahwa keputusan perekrutan dan pemecatan harus didasarkan hanya pada kemampuan karyawan melakukan pekerjaan. Manajer yang mendiskriminasi orang Amerika keturunan

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 3

Afrika dalam perekrutan menunjukkan perilaku yang tidak etis dan melawan hukum (ilegal). Tetapi bagaimana dengan manajer yang merekrut teman atau sanak keluarga ketika masih ada orang lain yang lebih memenuhi syarat ? Keputusan itu mungkin tidak melawan hukum; namun secara etis tidak dapat diterima.

Upah dan kondisi kerja, walaupun diatur oleh undang-undang, juga merupakan bidang yang kontroversial. Bayangkanlah situasi di mana seorang manajer membayar seorang pekerja kurang dari selayaknya karena ia tahu bahwa karyawan itu harus bekerja atau tidak bisa mengeluh lantaran takut diberhentikan.

Walaupun beberapa orang akan melihat perilaku itu tidak etis, yang lain akan melihatnya sebagai taktik bisnis yang cerdas. Kasus-kasus seperti ini cukup sulit untuk dinilai, tetapi perhatikanlah perilaku manajemen Enron terhadap karyawan perusahaan (Penelope Patsuris, 2002). Manajemen tersebut mendorong karyawan menginvestasikan dana pensiun dalam saham perusahaan dan kemudian, ketika masalah finansial mulai muncul ke permukaan, tidak mengizinkan mereka menjual saham. Akhirnya, pembubaran perusahaan itu mengorbankan ribuan karyawan.

Perilaku terhadap Organisasi

Isu etis juga muncul dari perilaku karyawan terhadap majikannya, khususnya dalam kasus seperti konflik kepentingan, kerahasiaan, dan kejujuran. Konflik kepentingan terjadi karena suatu aktivitas bisa menguntungkan individu dengan merugikan pihak majikannya. Sebagai contoh, kebanyakan perusahaan memiliki kebijakan yang melarang bagian pembelian menerima hadiah-hadiah dari pemasok. Industri-industri yang bersaing ketat – perangkat lunak dan pakaian mode, misalnya – mempunyai penjaga keamanan (safeguard) terhadap perancang yang menjual rahasia perusahaan ke pesaing.

Masalah yang relatif umum di bidang kejujuran umumnya mencakup perilaku seperti mencuri pasokan, menggelembungkan laporan biaya, dan menggunakan telepon kantor untuk melakukan panggilan jarak jauh pribadi. Kebanyakan karyawan sebetulnya jujur, tetapi kebanyakan organisasi tak pernah waspada. Lagi-lagi, Enron merupakan contoh tepat dari perilaku karyawan yang tidak etis terhadap sebuah organisasi. Para manajer puncak tidak hanya menyalahgunakan aset perusahaan, tetapi mereka sering menjerumuskan perusahaan pada usaha-usaha yang berisiko demi kepentingan pribadi (www.enron.com).

Perilaku terhadap Agen Ekonomi Lainnya

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 4

Etika juga tampil dalam hubungan antara perusahaan dan karyawannnya dengan apa yang disebut agen kepentingan primer – terutama pelanggan, pesaing, pemegang saham, pemasok, penyalur, dan serikat buruh. Dalam menghadapi agen-agen tersebut, ada peluang terjadinya ambiguitas etis dalam hampir setiap aktivitas – periklanan, laporan keuangan, pemesanan dan pembelian, tawar-menawar dan perundingan dan hubungan bisnis lainnya.

Sebagai contoh, bisnis industri farmasi mendapat kritik karena tingginya harga obat. Mereka beragumentasi bahwa harga obat tinggi karena harga itu harus menutup biaya program riset dan pengembangan untuk mengembangkan obat-obat baru. Jalur keluar masalah tersebut tampak jelas: menemukan keseimbangan yang tepat antara penetapan harga ang wajar dan penipuan harga untuk menanggapi kenaikan permintaan dengan kenaikan harga yang melonjak. Tetapi seperti halnya etika, banyak perbedaan pandangnan tentang bagaimana keseimbangan yang tepat itu.

Bidang lain yang dewasa ini menjadi perhatian adalah laporan keuangan, khususnya pada perusahaan-perusahaan berteknologi tinggi seperti WorldCom. Beberapa perusahaan ini sangat agresif dalam menyajikan posisi keuangan mereka secara positif, dan di beberapa kasus, terlalu menekankan proyeksi pendapatan untuk memikat lebih banyak investasi. Kegiatan ini berperan penting dalam kasus yang melibatkan Martha Stewart. Dan sekali lagi, dalam kasus Enron:

• Para pejabat senior terus membuat para investor mengira perusahaan itu sanggup membayar hutang-hutangnya, sehingga lama setelahnya baru mereka menyadari bahwa perusahaan sedang dililit masalah serius.

• Perusahaan tersebut melanggar sejumlah aturan negara selama krisis energi di California, yang menyebabkan penderitaan dan ketidaknyamanan jutaan konsumen.

• Kemitraan dengan perusahaan lain banyak melanggar aturan keterbukaan dan kejujuran, mengakibatkan kerugian bagi perusahaan lain dan karyawan mereka.

Masalah lainnya adalah variasi global dalam praktik bisnis. Di banyak negara, suap merupakan isu bisnis yang umum. Akan tetapi, baik undang-undang Amerika Serikat dan undang-undang Indonesia melarang suap. Sebagai contoh, sebuah perusahaan penghasil daya listrik baru saja mengalami kehilangan kontrak bernilai ratusan juta dollar Amerika Serikat karena menolak membayar suap di Timur Tengah. Sedangkan sebaliknya banyak perusahaan Indonesia melakukan suap agar diberikan keringanan membayar pajak dan diberikan banyak kemudahan dalam berbisnis di Indonesia (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980).

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 5

Menilai Perilaku Etis

Apa yang membedakan perilaku etis dari perilaku tidak etis kadang kala bersifat subjektif dan mengundang perbedaan pendapat. Jadi bagaimana seseorang dapat memutuskan apakah suatu tindakan atas keputusan itu etis ? Ada tiga langkah yang disederhanakan untuk menerapkan penilaian etis terhadap situasi yang dapat timbul selama kita melakukan aktivitas bisnis yaitu :

1. Mengumpulkan informasi faktual yang relevan

2. Menganalisis fakta-fakta untuk menentukan nilai moral yang paling tepat

3. Melakukan penilaian etis berdasarkan kebenaran atau kesalahan terhadap aktivitas

atau kebijakan yang akan kita nilai tersebut.

Sayang, prosesnya tidak selalu mulus. Bagaimana bila fakta-faktanya tidak jelas ? Bagaimana bila tidak ada nilai moral yang telah disetujui bersama ? Apapun yang terjadi, penilaian dan keputusan tetap harus dibuat. Para ahli mengemukakan bahwa jika tidak, rasa percaya akan hilang; dan rasa percaya sangat diperlukan dalam transaksi bisnis apapun.

Agar dapat menilai suatu etika perilaku secara lebih mendalam, kita membutuhkan perspektif yang lebih kompleks. Untuk mengilustrasikan perspekitf itu, mari kita tinjau dilema yang umum dihadapi para manajer mengenai laporan pengeluaran mereka. Perusahaan secara rutin menyediakan dana untuk pengeluaran yang berkaitan dengan kerja – biaya hotel, makan, sewa mobil, atau taksi – apabila mereka melakukan perjalanan bisnis atau menjamu klien untuk tujuan bisnis. Para karyawan diharapkan mengklaim hanya untuk pengeluaran yang akurat dan berkaitan dengan pekerjaannya.

Menurut Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert ( 2007), norma-norma etis juga muncul dalam kasus seperti itu. Perhatikanlah 4 norma dan persoalan yang ditimbulkannya :

1. Kegunaan (utility): Apakah suatu tindakan mengoptimalkan keuntungan mereka yang dipengaruhi oleh tindakan tersebut ?

2. Hak (rights): Apakah tindakan itu menghargai hak-hak orang yang terlibat ?

3. Keadilan (justice) : Apakah tindakan itu konsisten dengan apa yang kita anggap adil ?

4. Kepedulian (caring): Apakah tindakan itu konsisten dengan tanggung jawab masing-masing pihak kepada pihak lainnya ?

Sekarang kembalilah ke kasus laporan biaya yang melambung. Sementara norma kegunaan (utility) mengetahui bahwa manajer mendapat manfaat dari penggelembungan laporan biaya, sedangkan pihak lainnya, seperti teman sekerja dan pemilik perusahaan, tidak mendapatkan manfaat apa-apa. Demikian pula, sebagian besar ahli akan setuju bahwa

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 6

tindakan tersebut tidak menghargai hak orang lain. Selain itu, hal tersebut jelas-jelas tidak adil dan bertentangan dengan tanggung jawab manajer tersebut kepada pihak lain. Jadi, tindakan itu jelas-jelas tidak etis.

Praktek-praktek Perusahaan dan Etika Bisnis

Organisasi berusaha mendorong perilaku etis dan melarang perilaku tidak etis dengan berbagai cara. Karena manajer dan karyawannya semakin sering melakukan aktivitas yang tidak etis dan bahkan ilegal di berbagai perusahaan, maka banyak perusahaan yang mengambil langkah tambahan untuk mendorong perilaku etis di lingkungan kerja. Banyak di antaranya, misalnya menerapkan aturan main dalam menjalankan dan mengembangkan posisi etis yang jelas mengenai cara perusahaan dan karyawan menjalankan bisnisnya. Bidang yang semakin menjadi kontroversi yang berkaitan dengan etika bisnis dan praktek-praktek perusahaan mencakup posisi e-mail dan komunikasi lain yang terjadi di dalam suatu organisasi.

Barangkali langkah tunggal paling efektif yang dapat diambil perusahaan adalah memperlihatkan dukungan manajemen puncak terhadap tindakan yang etis. Sebagai contoh, pada waktu United Technologies (UT), konglomerat industri yang berpusat di Connecticut, menerbitkan kode etik sebanyak 21 halaman, UT juga mengangkat seorang wakil presiden untuk praktek bisnis, untuk memastikan UT melakukan bisnis secara etis dan bertanggung jawab. Dengan adanya kode etik yang terinci dan seorang pejabat senior yang memberdayakannya, perusahaan tersebut mengirimkan harapannya akan tindakan etis dari para karyawannya. Dua pendekatan paling umum untuk membentuk komitmen manajemen puncak terhadap praktek bisnis yang etis adalah membuat peraturan tertulis dan memberlakukan program etika (www.utc.com).

Menerapkan Kode Etik Tertulis

Banyak perusahaan menuliskan kode etik tertulis yang secara formal menyatakan keinginan mereka melakukan bisnis dengan perilaku yang etis. Jumlah perusahaan seperti itu meningkat secara pesat dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir ini, dan kini hampir semua korporasi besar telah memiliki kode etik tertulis. Bahkan Enron memiliki kode etik, tetapi para manajer tentu harus menjalankan kode etik itu jika penerapan kode etik itu berhasil. Pernah terjadi, dewan direktur Enron melakukan pengambilan suara untuk mengesampingkan suatu kode etik supaya bisa menyelesaikan satu transaksi yang akan melanggar kode itu; setelah transaksi selesai, mereka melakukan pengambilan suara untuk kembali memberlakukan kode etik tersebut!

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 7

Hewlett Packard, misalnya, memiliki kode etik tertulis yang mereka sebut The HP Way, sejak 1957 (www.hp.com). Unsur-unsur pentingnya adalah sebagai berikut:

• Kami mempercayai dan menghargai individu

• Kami fokus pada tingkat pencapaian prestasi dan kotribusi yang tinggi

• Kami menjalankan bisnis kami dengan integritas tanpa kompromi

• Kami meraih tujuan umum kami melalui kerja kelompok

• Kami mendorong fleksibilitas dan inovasi

Memberlakukan Program Etika

Banyak contoh mengemukakan bahwa tanggapan etis dapat dipelajari berdasarkan pengalaman. Misalnya, dalam satu contoh klasik beberapa tahun lalu, penyabot perusahaan meracuni kapsul Tylenol, yang mengakibatkan kematian beberapa konsumen. Karyawan pada Johnson & Johnson, pembuat Tylenol, mengetahui bahwa tanpa memerlukan instruksi atau pengarahan dari perusahaan, mereka harus pergi ke rak-rak pengecer dan menarik produk itu secepat mungkin. Dalam retrospeksi, ternyata karyawan tahu bahwa inilah yang ingin dilakukan perusahaan (www.tylenol.com). Akan tetapi, dapatkah etika bisnis diajarkan, baik dalam lingkunga kerja maupun dibangku sekolah ? Tidak mengherankan, sekolah-sekolah bisnis telah memegang peranan penting dalam perdebatan mengenai pendidikan etika. Sebagian besar analis setuju bahwa walaupun sekolah-sekolah bisnis harus tetap mengajarkan masalah-masalah etika di lingkungan kerja, perusahaanlah yang harus bertanggung jawab penuh dalam mendidik karyawannya. Kabar baiknya, kini semakin banyak perusahaan yang melakukan hal tersebut.

Menurut Manuel G. Velasquez (2006), four steps leading to ethical behavior. First, recognizing a situation is an ethical situation. Second, judging what the ethical course of action is. Third, deciding to do the ethical course of action. Fourth, carrying out the decision.

On the other hand, Velasquez (2006) said that requires framing it as one that requires ethical reasoning, situation is likely to be seen as ethical when it involves serious harm that is concentrated, likely, proximate, immiment, and potentially violates our moral standards and obstacles to recognizing a situation is ethical include: euphemistic labeling, justifying our actions, advantageous comparisons, displacement of responsibility, diffusion of responsibility, distorting the harm, and dehumanization, and attribution of blame.

Tanggung Jawab Sosial (Corporate Social Responsibility)

Etika mempengaruhi perilaku pribadi di lingkungan kerja. Tanggung jawab sosial adalah sebuah konsep yang berhubungan, namun merujuk pada seluruh cara bisnis berupaya

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 8

menyeimbangkan komitmennya terhadap kelompok dan pribadi dalam lingkungan sosialnya. Kelompok dan individu itu sering kali disebut sebagai pihak yang berkepentingan dalam organisasi. Mereka adalah kelompok, orang, dan organisasi yang dipengaruhi langsung oleh praktek-praktek suatu organisasi dan, dengan demikian, berpentingan terhadap kinerja organisasi itu. Pihak-pihak utama yang berpentingan dalam Korporasi yaitu: Karyawan, Investor, Komunikasi Lokal, Pelanggan, Pemasok (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).

Model Tanggung Jawab terhadap Pihak yang Berkepentingan

Sebagian besar korporasi yang berusaha untuk bertanggung jawab kepada pihak yang berkepentingan atas mereka, pertama-tama berfokus pada lima kelompok utama: pelanggan, karyawan, investor, pemasok, dan komunitas lokal tempat mereka menjalankan bisnisnya. Kemudian mereka dapat memilih pihak berkepentingan lainnya yang relevan atau penting bagi organisasinya dan mencoba memenuhi kebutuhan dan pengharapan mereka.

Pelanggan

Bisnis yang bertanggung jawab terhadap pelanggan mereka berusaha melayani pelanggannya secara wajar dan jujur. Mereka juga mencari cara untuk menetapkan harga secara wajar, menghargai garansi, memenuhi komitmen pengiriman pesanan, dan mempertahankan kualitas produk yang mereka jual. Dell Computer, Johnson & Johnson,

Land’s End, dan L.L. Bean merupakan beberapa contoh perusahaan yang memiliki reputasi yang baik dalam bidang ini. Dalam tahun-tahun terakhir, banyak bank kecil meningkatkan laba dengan menawarkan layanan pelanggan yang jauh lebih kuat daripada bank-bank nasional yang besar (seperti Well Fargo dan Bank of America). Sebagai contoh, ada yang menawarkan pelanggan mereka kopi Starbucks gratis dan penitipan anak ketika mereka berada di bank untuk melakukan bisnis. Menurut Gordon Goetzmann, eksekutif layanan keuangan terkemuka, “Bank-bank besar tidak memperhatikan hal itu” bila berkaitan dengan upaya bank kecil memahami apa yang diinginkan pelanggan (First Manhattan Consulting Group, 1996 – 2012).

Karyawan

Bisnis yang bertanggung jawab secara sosial terhadap pekerjaannya memperlakukan karyawan dengan adil menganggap pekerja sebagai bagian dari tim, dan menghormati harga diri dan kebutuhan dasar manusiawi mereka. Organisasi seperti The Container Store, MBNA, Continental Airlines, 3M Corporation, dan Southwest Airlines telah memiliki reputasi yang

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 9

kuat di bidang ini. Lebih dari itu, banyak perusahaan berupaya keras mencari, mempekerjakan, melatih, dan mempromosikan kelompok minoritas yang memenuhi kualitas kerja. Setiap tahun, majalah Fortune mempublikasikan daftar “Perusahaan Terbaik untuk Bekerja di Amerika” dan “Perusahaan Terbaik bagi Minoritas.” Daftar ini, pada gilirannya, menarik lebih banyak individu yang ingin sekali bekerja pada perusahaan yang sangat dihormati ini (www.fortune.com).

Investor

Untuk mempertahankan sikap mental dan tanggung jawab sosial terhadap para investor, para manajer harus mengikuti prosedur akuntansi yang pantas, memberikan informasi yang tepat kepada pihak berkepentingan mengenai kinerja keuangan perusahaan, dan mengelola perusahaan untuk melindungi hak-hak dan investasi para pemegang saham. Mereka harus akurat dan terus terang dalam menilai pertumbuhan dan profitabilitas masa depan serta bahkan menghindari tindakan tidak layak dalam bidang-bidang yang sensitif seperti insider trading, manipulasi harga saham, dan menyembunyikan data keuangan.

Pada tahun 2002, misalnya, WorldCom, sebuah bisnis telekomunikasi raksasa dan pemilik MCL, mengumumkan bahwa perusahaan ini melebihkan pendapatan tahun sebelumnya sebesar $6 miliar. SEC mengumumkan penyelidikan atas praktek akuntansi perusahaan tersebut, dan para investor mengetahui bahwa WorldCom telah meminjamkan uang kepada CEO Bernard Ebbers sebesar $366 juta yang mungkin tidak mampu dikembalikannya. Akibat masalah ini, harga saham WorldCom merosot lebih dari 43%, dan akhirnya harus menyatakan pailit agar keluar dari lubang yang mereka buat sendiri (www.worldcom.com).

Pemasok

Hubungan dengan para pemasok harus dikelola dengan hati-hati. Sebagai contoh, mungkin mudah bagi korporasi besar untuk memanfaatkan pemasok dengan menentukan jadwal pengantaran yang tidak realistis dan mengurangi margin laba dengan cara terus-menerus menekan harga serendah mungkin. Banyak perusahaan kini mengakui pentingnya perjanjian persekutuan yang saling menguntungkan dengan pemasoknya. Jadi, mereka memberikan informasi mengenai rencana masa depan, negosiasi jadwal pengantaran dan harga yang dapat diterima kedua belah pihak, dan lain-lainnya. Ford dan Wal-Mart termasuk diantara perusahaan yang diakui memiliki hubungan yang sangat baik dengan pemasok mereka (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).

Komunitas Lokal

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 10

Terakhir, sebagian besar bisnis berusaha untuk bertanggung jawab secara sosial kepada komunitas lokal mereka. Mereka dapat memberi sumbangan program-program lokal seperti baseball Little League, secara aktif terlibat dalam program-program amal seperti United Way, atau sekedar berusaha menjadi warga korporasi yang baik dengan meminimalkan dampak negatif mereka terhadap komunitas. Toko-toko Target misalnya, menyumbangkan sekian persen dari penjualan mereka kepada komunitas lokal tempat mereka menjalankan bisnisnya.

Model pihak yang berpentingan dapat pula memberikan pandangan berguna mengenai perilaku para manajer dalam bisnis internasional. Khususnya, mereka harus pula mengakui bahwa mereka memiliki bermacam-macam kelompok kepentingan dalam tiap negara di mana mereka berbisnis. DaimlerChrysler, misalnya, memiliki pemegang saham tidak hanya di Jerman, tetapi juga di Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara lain di mana saham-sahamnya diperdagangkan secara bebas, dan tindakannya mempengaruhi berbagai komunitas di berbagai negara. Sama halnya, bisnis internasional harus juga menunjukkan tanggung jawab mereka dalam area seperti upah, kondisi kerja, dan perlindungan lingkungan di negara yang memiliki hukum dan norma yang berbeda untuk mengatur tanggung jawab tersebut. (www.daimlerchrysler.com).

Kesadaran Sosial Masa Kini

Kesadaran sosial dan pandangan terhadap tanggung jawab sosial terus berkembang. Praktek-praktek bisnis dan para wirausahawan seperti John D. Rockefeller, J.P. Morgan, dan Cornelius Vanderbilt menimbulkan kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuasaan dan mengakibatkan dibuatnya undang-undang pertama Amerika Serikat yang mengatur dasar-dasar praktek bisnis. Pada tahun 1930-an, banyak orang menuduh iklim kerakusan bisnis dan kurangnya kendali sebagai penyebab Depresi Besar. Dari kekacauan perekonomian ini muncullah undang-undang baru yang menjabarkan perluasan peranan bisnis dalam melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum, Dari situ, muncullah konsep akuntabilitas (Case and Fair, 2009).

Pada tahun 1960-an dan 1970-an, bisnis sekali lagi dicirikan sebagai dorongan sosial yang negatif. Beberada kritisi bahkan menuduh bahwa para kontraktor pertahanan telah mengorbankan Perang Vietnam untuk mendatangkan laba. Peningkatan aktivitas sosial mendorong meningkatnya peraturan pemerintah dalam berbagai hal. Peringatan kesehatan yang ditempatkan pada bungkus-bungkus rokok dan undang-undang perlindungan lingkungan diberlakukan secara tegas (Case and Fair, 2009).

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 11

Selama tahun 1980-an dan 1990-an, kesejahteraan ekonomi yang dinikmati secara umum di kebanyakan sektor ekonomi telah mendorong terjadinya periode sikap laissez-faire lainnya terhadap bisnis. Walaupun kadang-kadang ada skandal atau kegagalan bisnis besar, sebagian besar orang tampaknya memandang bisnis sebagai kekuatan positif dalam masyarakat dan umumnya mampu menjaga ketertibannya sendiri melalui kekuatan kontrol diri dan pasar bebas. Banyak bisnis terus beroperasi dengan cara yang dipahami dan bertanggung jawab sosial. Sebagai contoh, para pengecer seperti Sears dan Target mempunyai kebijakan menolak penjualan pistol dan senjata lainnya. Demikian juga, pengecer mainan nasional Kaybee dan Toys “R” Us menolak menjual pistol mainan yang terlihat persis seperti aslinya. Dan Anheuser Busch pun mempromosikan konsep minum minuman keras secara bertanggung jawab dalam beberapa iklannya (Case and Fair, 2009).

Perusahaan-perusahaan dalam berbagai industri lainnya juga telah mengintegrasikan pemikiran kepedulian sosial ke dalam rencana produksi dan usaha pemasaran mereka. Pembuatan produk yang aman terhadap lingkungan berpotensi menjadi bidang yang sangat laku, karena banyak perusahaan memperkenalkan produk yang “ramah lingkungan.”

Electrolux, pembuat alat-alat rumah tangga dari Swedia (www.electrolux.com), telah mengembangkan lini mesin cuci efisien-air, pemotong rumput bertenaga matahari, dan lemari es pertama yang bebas dari bahan-bahan yang menipiskan lapisan ozon. Ford telah mendirikan merek Think untuk mengembangkan dan memasarkan kendaraan rendah polusi dan digerakkan listrik (www.ford.com).

Sayangnya, membanjirnya skandal korporasi dan penyingkapannya yang luar biasa dalam beberapa tahun bisa menghidupkan kembali sikap negatif dan skeptisisme terhadap bisnis. Sebagai satu ilustrasi saja, ada kemarahan yang meluas ketika penghasilan tambahan yang diberikan pada mantan CEO Tyco International, Dennis Kozlowski, dipublikasikan pada tahun 2002. Penghasilan tambahan ini mencakup berbagai kemewahan seperti istana senilai $50 juta di Florida dan apartemen di New York senilai $18 juta, $11 juta untuk barang-barang antik dan perabotan (termasuk tirai pancuran senilai $6.000). Bahkan perusahaan membiayai pesta ulang tahun istri Kozlowski di Italia sebesar $2,1 juta. Tidak berarti bahwa Kozlowski orang miskin – dia mempunyai pendapatan hampir $300 juta antara tahun 1998 dan 2001 dari gaji, bonus, dan pendapatan saham (www.tyco.com).

Sama halnya, kasus Enron kembali menuai kritik secara tajam ketika dokumen pengadilan dan rekaman video perusahaan dipublikasikan di tahun 2004. Ketika kebakaran hutan melanda California di tahun 2002, menghancurkan seluruh komunitas dan merusak lingkungan, salah seorang trader dari Enron secara antusias mengangkat kepalan tangannya

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 12

ke udara dan berteriak “Bakar! Bakar!” – karena kebakaran tersebut akan menaikkan harga energi dan meningkatkan keuntungan Enron! (www.enron.com).

Di Washington, para pengkritik dan pejabat pemerintah sudah menuntut standar yang lebih ketat untuk praktek bisnis dan meningkatkan kontrol atas prosedur akuntansi. Dan karena masyarakat mulai melihat masalah ekonomi berasal dari kegiatan bisnis yang tidak bertanggung jawab dan perilaku eksekutif yang tidak etis, kita mungkin lebih baik kembali ke pola pikir tahun 1930-an. Pergeseran semacam itu dapat mengakibatkan bisnis terlihat kurang mampu mengontrol dirinya dan dengan demikian menuntut lebih banyak kontrol dan batasan dari pemerintah.

PEMBUANGAN LIMBAH KE LAUT

Pesiar telah menjadi liburan yang sangat diminati banyak orang. Lebih dari 8 juta penumpang telah berpesiar di laut setiap tahunnya, menyusuri berbagai lautan mencari pantai yang belum tersentuh dan perairan bening. Lautan Karibia, Mediterania, dan Alaska merupakan tujuan yang paling sering dikunjungi, sementara perairan Eropa dan Asia juga mulai diminati banyak orang. Walaupun penumpang dan kapal pesiar besar mendatangkan pendapatan, namun kapal pesiar juga membawa hal yang tidak diinginkan, yaitu polusi.

Kapal pesiar modern membawa 2000 penumpang dan 1000 kru kapal pesiar. Jumlah tertentu tentu menghasilkan banyak sampah. Pada hari biasa, kapal pesiar akan menghasilkan 7 ton sampah padat, yang dibakar dan kemudian dibuang; 15 galon limbah kimia yang sangat beracun; 7000 galon air mengandung minyak yang berasal dari lambung kapal; dan 225.000 galon air yang berasal dari wastafel dan cucian. Kapal pesiar juga mengambil air yang berfungsi sebagai pemberat yang diambil dan dibuang di mana pun dan kapan pun diperlukan, melepaskan polusi dan biota laut dari bagian bumi yang lain. Coba kalikan masalah ini dengan lebih dari 167 kapal yang tersebar di seluruh dunia yang berpesiar selama 50 minggu per tahun dan bayangkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

Aktivitas lingkungan melihat masalah polusi terbesar adalah kematian biota laut, termasuk kepunahan. Hewan asing membawa penyakit dan parasit, dan dalam kasus tertentu menggantikan biota asli suatu daerah. Bakteri yang tidak berbahaya bagi manusia dapat membunuh karang laut, padahal karang laut berfungsi sebagai penyedia makanan dan merupakan habitat bagi sejumlah spesies. Walaupun sedikit, minyak dan bahan kimia beracun dapat menyebabkan kematian bagi biota laut. Kura-kura yang menelan plastik mengira plastik adalah ubur-ubur dan akhirnya menjadi kelaparan. Sementara anjing laut dan burung terjebak di jala plastik pengikat kaleng minuman dan kemudian tenggelam.

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 13

Perusahaan lain meliputi perusakan habitat atau penyakit yang berdampak pada industry Amerika Serikat senilai $137 miliar setiap tahunnya. Sebagai contoh, cholera yang terbawa oleh air pemberat kapal dari perairan Peru merugikan penambak udang dan ikan pada tahun 1990-an karena mereka terpaksa memusnahkan tangkapan mereka yang terinfeksi cholera. Keracunan logam berat pada ikan terus meningkat dan timbul kekhawatiran bahwa racun tersebut berpindah melalui rantai makanan dari hewan-hewan berukuran kecil ke ikan, dan akhirnya ke manusia. Fosfor yang ditemukan dalam detergen menyebabkan pertumbuhan ganggang yang berlebihan.

Kurangnya regulasi adalah hambatan terbesar penyelesaian masalah tersebut. Secara hukum, negara dapat mengatur perairan sampai sejauh 3 mil dari batas peraiaran mereka. Perjanjian internasional menambah batas pengawasan sebanyak 25 mil dari batas perairan. Di luar batas 25 mil tersebut, kapal berlayar di perairan bebas. Selain faktor tersebut, setiap negara memiliki peraturan dan hukum yang bervariasi, dan walaupun ketika suatu negara memiliki peraturan ketat, mungkin penerapannya lemah. Pengawas pantai Amerika Serikat memberlakukan peraturan di perairan Amerika Serikat, namun tidak begitu tersebar luas. Hanya sekitar 1% dari anggaran penjaga pantai yang digunakan untuk pengawasan lingkungan. Bagaimanapun juga, walaupun pengawasan tidak terlalu ketat, seharusnya perusahaan pelayaran tetap sadar akan pentingnya perairan yang bersih dan aman untuk kepentingan mereka. Namun yang menyedihkan, hal ini sering kali tidak terjadi (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).

Bersamaan dengan polusi yang disebabkan oleh kapal pesiar, pembuangan ilegal internasional juga terus bertambah dalam skala tertentu. Sebagai contoh, selama beberapa dekade terakhir, sebagai konsekuensi pengetatan peraturan, sepuluh perusahaan kapal pesiar telah membayar $48,5 juta sebagai denda akibat pembuangan ilegal. Dalam penyelesaian denda terbesar selama ini, perusahaan pelayaran Royal Carribean (www.royalcarribean.com) membayar $27 juta karena telah melakukan perubahan fasilitas secara ilegal, memalsukan data, berbohong pada penjaga pantai, dan dengan sengaja menghancurkan bukti yang memberatkan. Jumlah tersebut sepertinya tinggi, tapi angka tersebut sudah mencakup 30 tuduhan dari pelanggaran selama 10 tahun, dan tampak kecil jika dibandingkan keuntungan yang mereka dapat pada tahun 2001 sebesar $1 miliar. Para pengamat setuju bahwa sebenarnya jumlah denda Royal Carribean lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang seharusnya mereka bayar jika mereka membuang limbah sesuai aturan selama satu dekade. Selain itu, sebuah tuntutan sementara ini sedang dihentikan, berkaitan dengan pemecatan sang pengadu (whistle-blower) dari Royal Carribean, yaitu wakil direktur bidang keselamatan

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 14

dan lingkungan. Menurut pengacara William Amlong yang mewakili sang pengadu, “kasus ini seperti kasus Enron yang terjadi di perairan.”

Banyak yang merasa bahwa denda yang diberikan belum cukup. Perusahaan kapal pesiar Norwegian Cruise Lines (www.ncl.com) baru-baru ini hanya membayar $1 juta untuk pemalsuan data dalam kasus yang disebut Rick Langlois, seorang peneliti di EPA

(Environment Protection Agency), sebagai salah satu kasus terparah yang pernah terjadi. Langlois dan kawannya sangat lantang melawan perusahaan kapal pesiar tersebut karena menurut mereka perusahaan tersebut mencetak untung dari kerusakan lingkungan yang mereka hasilkan. Beberapa pengamat mengatakan bahwa perusahaan kapal pesiar tidak akan berhenti selama mereka terus mencetak untung. Terdapat teknologi yang dapat mengurangi kadar bahaya dari limbah, tetapi para ahli perindustrian memperkirakan bahwa pembuangan limbah langsung ke laut dapat menghemat jutaan dolar uang kapal pesiar per tahun. Dari sudut pandang tersebut, menurut Langlois, tindakan yang diambil oleh perusahaan kapal pesiar Norwegian Cruise merupakan keputusan bisnis yang brilian (www.epa.gov).

AKUNTABILITAS BISNIS

Aturan Pemberian Informasi

Martha Stewart baru-baru ini didakwa atas tuduhan menghambat pengadilan dan berbohong kepada agen pemerintah. Namun ketika orang-orang memberikan perhatian pada penderitaan yang dialaminya, bahkan beberapa mengambil keuntungan atas musibahnya, hanya sedikit yang benar-benar mengerti dasar tuduhan yang diajukan terhadapnya. Ternyata sebagian besar masalah sangat bergantung pada siapa mengatakan apa, kapan, dan kepada siapa (www.marthastewart.com).

Dr. Samuel Waksal menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai imunolog yang disegani. Pada tahun 1984, dia meluncurkan satu bisnis bioteknologi yang disebut ImClone untuk mengeksplorasi opsi pengobatan baru untuk penyakit serius seperti kanker (www.imclone.com). Waksal mempekerjakan saudaranya Harlan, juga seorang dokter, untuk membantu menjalankannya. Tampaknya mereka menemukan jalan menjadi kaya pada awal tahun 1990-an, ketika seorang ilmuwan riset profesional terkenal John Mendelsohn mengindikasikan adanya temuan yang mungkin dapat menjadi terobosan besar dalam memerangi kanker. Erbitux, nama obat baru itu, tampaknya menunjukkan potensi besar untuk mengobati jenis kanker tertentu. Dengan dana tambahan, Mendelsohn yakin bahwa dia bisa mendapatkan izin federal untuk memasarkan obat itu. Waksal bersaudara meyakinkan Mendelsohn untuk melisensikan obat Erbitux kepada ImClone (www.erbitux.com).

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 15

Beberapa tahun berikutnya, ketika obat itu dikembangkan lebih lanjut lebih lanjut dan disempurnakan, Waksal menghabiskan banyak waktu untuk membangun antusiasme akan Erbitux. Paling tidak satu terobosan media terhadap kanker akan mendapatkan nilai pasar yang luar biasa. Upaya pemasaran Waksal membuahkan hasil. Para investor mengantri di depan pintu, dan ImClone menjadi topik pembicaraan di New York. Mick Jagger muncul di pesta Natal Waksal, dan Doobie Bothers berpentas pada pesta ImClone saat pertemuan besar riset kanker. Waksal sendiri ikut berpesta dengan Martha Stewart dan berkencan dengan putrinya.

Ketika Erbitux semakin mendekati kenyataan, antusiasme terus memuncak. American Society of Clinical Oncologist meramalkan bahwa pada abad keduapuluh satu Erbitux akan menjadi seperti vaksin polio dan cacar pada abad keduapuluh. Sementara itu Waksal mulai memberi isyarat bahwa proses pengujian pada Food and Drug Administration (FDA) akan berjalan lancar dan bahwa ia mengharapkan persetujuan sepenuhnya segera setelah evaluasi FDA selesai (www.fda.gov).

Pada musim semi tahun 2001, Bristol-Myers Squibb (www.bms.com) mengumumkan rencana melakukan investasi $2 miliar pada ImClone. Sebagai imbalannya, pabrik obat raksasa itu akan mendapat bagian 20% dalam ImClone dan bagian hak penjualan di Amerika Serikat pada Erbitux. Didukung sebagian oleh investasi Bristol-Myers dan sebagian oleh kampanye promosi Waksal, saham ImClone menunjukkan kinerja yang mengesankan, meroket, menjangkau $75,45 per saham pada awal Desember 2001. Tetapi selanjutnya mulailah terjadi kemerosotan besar.

Pada awal Desember 2001, mulai beredar desas-desus di kalangan pejabat penting Bristol-Myers dan ImClone bahwa izin Erbitux mengalami kesulitan. Diduga, Samuel dan Harlan Waksal melancarkan upaya lobi yang gencar dengan melakukan kontak-kontak pribadi pada FDA agar pengumuman keputusan ditunda atau ditangguhkan. Pada tanggal 6 Desember, Harlan menjual $50 juta saham ImClone-nya. Pada tanggal 26 Desember, Samuel tahu bahwa FDA telah mengambil keputusan menolak aplikasi Erbitux dan menolak menyetujui produksi komersialnya.

Malam itu hingga besok paginya, Waksal dilaporkan menyampaikan informasi ini kepada anggota keluarga tertentu dan teman-teman dekat. Pada tanggal 27 Desember, anggota keluarga menjual lebih dari $9 juta saham ImClone. Waksal mencoba melepaskan $5 juta saham ImClone tetapi ditolak oleh pialangnya, yang sudah menghentikan semua transaksi ImClone. Pada hari yang sama, Martha Stewart menjual 3.928 saham ImClone.

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 16

Pengumuman resmi FDA dilakukan pada tanggal 28 Desember. Pada tanggal 31Desember, hari pertama perdagangan setelah pengumuman, volume dagang imClone meningkat 179% karena nilainya merosot 15%. Sepanjang musim panas tahun 2002, saham ImClone terus jatuh, dan pada bulan Juni 2002, hanya mencapai $7,83 per saham. Dewan ImcLone membujuk Waksal untuk mundur karena penyelidikan Securities and Exchange Comission (SEC) atas tindakan-tindakannya merusak kinerja perusahaan tersebut (www.sec.gov). Pada tanggal 12 Juni 2002, FBI menahan Samuel Waksal dengan tuduhan insider trading dan menghambat pengadilan.

Di awal bulan Agustus 2002, beberapa tuduhan baru diajukan terhadap Waksal, termasuk memberikan pernyataan palsu dan penipuan terhadap bank. Inti dari tuduhan baru ini adalah tuntutan untuk tindakannya terhadap dua institusi keuangan besar, Bank of America dan Refo Capital Market. Pihak berwenang meyakini bahwa pada akhir tahun 1999, Waksal memiliki surat jaminan asset yang memungkinkan ia mampu membeli saham ImClone sebanyak 350.000 lembar dengan harga $5,50. Dia menggunakan surat tersebut sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman dari setiap pemberi pinjaman, di mana tidak ada seorang pun di antara para pemberi pinjaman yang mengetahui bahwa surat tersebut digunakan untuk mendapatkan pinjaman dari pihak lain. Di tahun 2000, Waksal mencairkan suratnya, sehingga surat itu tidak lagi berguna sebagai jaminan bagi pemberi pinjaman manapun. Tidak lama kemudian, di tahun yang sama, Bank of America mengajukan permohonan konfirmasi kepada Waksal untuk menyatakan bahwa suratnya masih ada ditangan Waksal. Waksal kemudian memalsukan tanda tangan dewan ImClone, pada sebuah surat pernyataan tertanggal 10 November 2000, untuk meyakinkan bahwa surat jaminan aset tersebut masih berlaku sebagai jaminan.

Kabar ini tentu saja menimbulkan kecurigaan atas aktivitas Waksal lainnya. Saat ini Waksal menghadapi tuntutan lainnya, dan teman-teman serta kerabat keluarga lain di sekitarnya pun menghadapi proses pemeriksaan. Dua pemberi pinjaman tak dapat ditagih. Harga saham ImClone mengalami penurunan, dan investasi yang dilakukan oleh Bristol-Myers pun harus dibatalkan. Waksal pun dinyatakan bersalah atas delapan tuntutan kasus pemalsuan dan saat ini sedang menjalani masa tahanan. Sementara itu, Stewart juga dituntut karena berbohong kepada investor dan penyelidik pemerintah, dan saat ini menjalani masa tahanan di penjara federal (Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007).

KESIMPULAN

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 17

Etika bisnis adalah istilah yang biasanya berkaitan dengan perilaku etis atau tidak etis yang dilakukan oleh manajer atau pemilik suatu organisasi. Kita berupaya membuat undang-undang yang tidak bersifat ambigu, namun penafsiran dan penerapannya dapat menyebabkan ambiguitas. Situasi dunia nyata sering dapat ditafsirkan berbeda, dan menerapkan aturan baku ke dunia nyata tidak selalu mudah. Etika mempengaruhi perilaku pribadi di lingkungan kerja. Etika juga tampil dalam hubungan antara perusahaan dan karyawannnya dengan apa yang disebut agen kepentingan primer – terutama pelanggan, pesaing, pemegang saham, pemasok, penyalur, dan serikat buruh.

Tanggung jawab sosial adalah sebuah konsep yang berhubungan, namun merujuk pada seluruh cara bisnis berupaya menyeimbangkan komitmennya terhadap kelompok dan pribadi dalam lingkungan sosialnya. Kelompok dan individu itu sering kali disebut sebagai pihak yang berkepentingan dalam organisasi. Mereka adalah kelompok, orang, dan organisasi yang dipengaruhi langsung oleh praktek-praktek suatu organisasi dan, dengan demikian, berpentingan terhadap kinerja organisasi itu. Pihak-pihak utama yang berpentingan dalam Korporasi yaitu: Karyawan, Investor, Komunikasi Lokal, Pelanggan, Pemasok.

Dalam penerapan etika dan tanggung jawab sosial tentu juga berkaitan dengan kebiasaan hidup kita sehari-hari. Membuang limbah sembarangan ke laut, berbuat curang dan berbohong merupakan perilaku yang tidak baik untuk ditiru dan akan berhadapan dengan kebiasaan dan hukum yang berlaku di suatu negara khususnya di Amerika Serikat dalam artikel ini. Dalam kasus pembuangan limbah di laut perlu memperhatikan masalah lingkungan secara keseluruhan karena bisa merusak ekosistem di laut dan membunuh binatang laut. Sedangkan dalam kasus akuntabilitas bisnis ImClone yang melibatkan Martha Stewart dan Samuel Waksal, ketidakjujuran dan kecurangan mereka dalam berbisnis berakibat keduanya masuk penjara federal dalam waktu yang cukup lama.

DAFTAR PUSTAKA

First Manhattan Consulting Group, 1996 – 2012.

Karl E. Case and Ray C. Fair, 2009. Principles of Economics, Seventh Edition, Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Manuel G. Velasquez, 2006. Business Ethics, Concepts and Cases, Seventh Edition, International Edition. Pearson.

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 18

Penelope Patsuris, 2000. “Has Purchase Pro Bitten Off More Than It Can Chew?” Forbes Magazine, July 4th, 2000.

Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, 2007. Business, Edisi Kedelapan, Jilid 1, Jakarta: Erlangga.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1980.

http://www.aol.com http://www.bms.com http://www.daimlerchrysler.com http://www.electrolux.com http://www.enron.com http://www.epa.gov http://www.erbitux.com http://www.fda.gov http://www.ford.com http://www.fortune.com http://www.hp.com http://www.imclone.com http://www.marthastewart.com http://www.ncl.com http://www.royalcarribean.com http://www.sec.gov http://www.tylenol.com http://www.tyco.com http://www.utc.com http://www.worldcom.co

VALUE ADDED, Vol. 7 , No.2, Maret 2011 – Agustus 2011 http://jurnal.unimus.ac. 19

JURNAL III :

Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012

KONSEP TEORI DAN TINJAUAN KASUS ETIKA BISNIS

PT DIRGANTARA INDONESIA (1960 ‐2007)

Mahendra Adhi Nugroho
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta
mahendra_adhi_n@yahoo.com

Abstract: Theoretical Concepts and Case Review of Business Ethics of PT Dirgantara Indonesia (1960 ‐2007). The purposes of this article is to draw a theoretical review of business ethics issue base on business ethics theories used to measure an ethical violation in an enterprise. This articles use PT Dirgantara Indonesia (PT DI) ethical case during the period of 1960 to 2007. Qualitative approach is employed to explore and to review ethical violations in PT DI. It is clearly found that PT DI management did ethical violations on their policies in the year of 1995 to 2007. The violence is measured base on theoretical ideal conditions. Furthermore, it is also found that individuals’ moral motive in the organization could be a good driver on ethical implementation in an organization.

Key words: Business ethics, Ethics implementation, PT DI

Abstrak: Etika Bisnis: Konsep, Teori dan Tinjauan Kasus PT Dirgantara Indonesia (1960‐2007). Artikel ini bertujuan untuk mengkaji isu etika bisnis menggunakan konsep teori utama yang digunakan untuk mengukur tingkat pelanggaran etika yang terjadi. Kajian dalam artikel ini menggunakan kasus yang terjadi di PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dalam rentang waktu 1960 – 2007. Kajian yang dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi dan mengkaji kasus yang terjadi di PT DI. Dari kajian yang dilakukan di temukan bahwa telah terjadi pelanggaran etika bisnis dari kebijakan yang dilakukan oleh manajemen PT DI dalam rentang waktu 1995 – 2007. Pelanggaran tersebut diukur dan dibandingkan berdasarkan konsep ideal penerapan etika bisnis secara teoretis. Dari kajian juga ditemukan bahwa moral motive individu pelaku bisnis dapat menjadi motor penggerak penerapan etika dalam suatu organisasi bisnis.

Kata kunci: Etika bisnis, Penerapan Etika, PT DI

Pendahuluan

Penerapan etika bisnis dalam suatu organisasi yang bertujuan memperoleh laba dengan cara menghimpun dana dari masyarakat merupakan isu yang sering dikaji secara mendalam. Secara teoretis penerapan etika merupakan suatu hal yang mudah dilakukan dan diterapkan.

PT Dirgantara Indonesia (PT DI) merupakan perusahaan yang bergerak di industri pesawat terbang dan sahamnya dimiliki Negara. Tujuan awal pembentukan

PT DI yang dulu bernama PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) adalah untuk mengembangkan industri penerbangan di Indonesia dan mencukupi pasar penerbangan. Sejak pertama kali didirikan PT DI telah mengalami berbagai tantangan dan beberapa kali mengalami perubahan nama.

Secara ringkas, timeline dari perjalanan permasalahan yang dihadapi PT DI dalam rentang tahun 1960 – 2007 dapat diuraikan sebagai berikut. Pada tanggal 1 Agustus

22

Konsep Teori dan Tinjauan Kasus Etika Bisnis PT Dirgantara Indonesia (1960 ‐2007) – Mahendra Adhi Nugroho

1960 Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Lembaga tersebut diresmikan pada 16 Desember 1961 bertugas menyiapkan pembangunan industri penerbangan. Baru pada tanggal 28 April 1976 PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio didirikan dengan Dr. B.J. Habibie sebagai direktur utama dan selanjutnya pada tanggal 23 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang Nurtanio yang berkedudukan di Bandung.

Dalam perkembangannya pada tanggal 11 Oktober 1985 PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun yang sama perusahaan berhasil memperoleh lisensi untuk merakit pesawat terbang sipil dan militer dari perusahaan CASA Spanyol, MBB Jerman, dan perusahaan Aerospatiale Prancis.

Pada 10 November 1994 Roll out CN‐250 di pabrik IPTN di Bandung. CN‐250 dapat mengangkut 50‐54 penumpang dan terbang dengan kecepatan high subsonic speed (300‐ 330 knot) CN‐250 merupakan pesawat komuter pertama di dunia yang memakai sistem fly‐by‐wire Produksi CN 250 dihentikan pada tahun 1997 dan belum pernah mendapat sertifikat laik terbang.

Pada tanggal 20 April 1995 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil pemeriksaan dan menyatakan telah terjadi penyimpangan di IPTN yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 372.276.845. Penyimpangan tersebut antara lain terjadi pada tender/pelelengan paket pekerjaan sipil di lingkungan IPTN yang diidentifikasi terjadi manipulasi.

Di tahun 1996 pemerintah memberikan bantuan kepada PT IPTN sebesar Rp. 400 miliyar dengan menerbitkan Keppres No. 42 Tahun 1996. Dana tersebut diambilkan dari dana reboisasi yang kemudian bantuan dana tersebut ditetapkan sebagai penyertaan modal pemerintah, namun pada tanggal 15 April 1996 salah satu karyawan dipecat secara tidak hormat dari IPTN, karena dituduh mengungkapkan kasus penyimpangan berupa manipulasi tender/pelelangan paket pekerjaan sipil di lingkungan IPTN.

Pada tanggal 29 Oktober 1997 Terjadi demonstrasi dan pemogokan kerja karyawan pertama kali di PT IPTN. Karyawan berdemonstrasi menuntut keadilan dalam jenjang karier, selanjutnya pada tahun 1997 PT IPTN rugi Rp 233,137 miliar kemudian kerugian meningkat menjadi Rp 853,331 miliar pada 1998. Setahun kemudian kerugian turun menjadi Rp 75,043 miliar. Pada tahun 2001 perusahaan dapat membukukan laba Rp 7,149 miliar.

Akibat keadaan tersebut pada tanggal 13 Mei 2002 Direktur Utama PT IPTN menyatakan perusahaan akan mengurangi jumlah karyawan yang semula 15 ribu orang menjadi 9.777 orang. Jumlah karyawan akan terus dikurangi paling banyak 7 ribu orang. Pada tanggal 24 Agustus 2001 PT.IPTN mengubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI) atau Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada tanggal 9 Agustus 2002 Menteri Negara BUMN melantik jajaran direksi Baru PT DI. Terjadi protes dari mantan direktur utama karena penggantian tersebut tidak melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang

23

Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012

Saham (RUPS) dan tanpa diketahui komisaris utama. Selanjutnya pada tanggal 28 April 2003 PT DI menyerahkan lisensi pembuatan sayap pesawat Airbus 380 kepada British Aerospace System (BAe). Penyerahan dilaksanakan di hanggar Fabrikasi PT DI, Bandung.

Pada tanggal 12 Juli 2003 Direktur Utama PT DI mengeluarkan surat keputusan No. SKEP/0598/030.02/PTD/UT0000/07/03 tentang Program perumahan terhadap 9.670 orang karyawan terhitung sejak pukul 00.00 WIB (13 Juli 2003). Selanjutnya pada tanggal 4 September 2007 Keputusan pailit dijatuhkan pada PT DI, proses putusan ini dipicu oleh pemulangan karyawan pada 12 Juli 2003. Kronologi proses pailit sebagai berikut: 12 Juli 2003: Direksi PT DI memutuskan untuk merumahkan sebagian besar karyawan. Juli 2003: Menakertrans menerbitkan surat No 644.KP.02.33.2003 tentang proses perumahan karyawan tersebut. 29 Januari 2004: Permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) PT DI dikabulkan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). 14 Juni 2005: Permohonan eksekusi (fiat eksekusi) mantan karyawan yang di‐PHK diterima Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. 29 Maret 2006: Terjadi kesepakatan antara PT DI dengan karyawan yang menyatakan bahwa PT DI akan membayar tunai kewajiban perusahaan terhadap karyawan sebesar Rp 40 miliar dan sisanya yang berupa hak pensiun karyawan sebesar Rp 200 miliar akan dilunasi dengan skema lain. 9 Juli 2007: Mantan karyawan menggugat pailit PT DI ke PN Jakarta Pusat karena kewajiban PT DI yang telah disepakati tidak pernah dipenuhi PT DI. 4 September 2007: PN Jakarta Pusat menyatakan PT DI pailit dan wajib melunasi utang terhadap kreditor dan 3.500 mantan karyawannya.

Pada tanggal 24 Oktober 2007 MA mengabulkan permohonan kasasi PT DI atas keputusan pailit PN Jakarta pusat sehingga PT DI dapat beroperasi kembali dengan normal. Meskipun demikian, Serikat Pekerja‐Forum Komunikasi Karyawan (SP‐ FKK) PT DI masih terus mengajukan tuntutan terhadap PT DI atas pesangon 3500 karyawannya.

Dari tinjauan perjalanan kasus yang dihadapi oleh PT DI di atas dapat dilihat bahwa PT DI mengalami berbagai permasalahan yang terkait dengan isu‐isu etika bisnis. Artikel ini mencoba melakukan kajian telaah literatur mengenai konsep etika bisnis yang ideal dengan kasus yang terjadi di PT DI dalam kurun waktu 1960 – 2007. Tujuan dari kajian tersebut adalah untuk mengungkapkan isu etika dan fenomena penanggulangan terjadinya suatu masalah dalam suatu organisasi bisnis.

Kajian Etika Bisnis Secara Teoretis

Secara teoretis isu etika dapat dilihat dari berbagai macam aspek dan sudut pandang yang mampu melihat suatu masalah secara komprehensif. Beberapa peneliti telah memberikan pandangan dan pendapat mengenai konsep dasar etika dan keterkaitannya dengan penerapan di lingkungan bisnis. Pada sub bab ini akan membahas konsep dasar etika secara teoretis dan komprehensif secara ringkas.

1. Lima Isu Utama

Konsep pemahaman etika berlandaskan

lima isu umum (Velasquesz, Manuel G., 2002). sebagai berikut:

24

Konsep Teori dan Tinjauan Kasus Etika Bisnis PT Dirgantara Indonesia (1960 ‐2007) – Mahendra Adhi Nugroho

a. Bribery adalah tindakan menawarkan, memberi, menerima, dan menerima suatu nilai dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan pejabat (official) untuk tidak melakukan kewajiban publik atau legal mereka. Nilai tersebut dapat berupa pembayaran langsung atau barang.

b. Coercion adalah tindakan pemasakan, pembatasan, memaksa dengan kekuatan atau tangan atau ancaman hal tersebut mungkin aktual, langsung, atau positif, dimana kekuatan fisik digunakan untuk memaksa tindakan melawan seseorang, akan atau secara tidak langsung mempengaruhi yang mana satu pihak dibatasi oleh penundukan yang lain dan dibatasi kebebasannya.

c. Deception adalah tindakan memanipulasi orang atau perusahaan dengan menyesatkannya. Dengan kata lain, deception adalah kegiatan menipu, sengaja menyesatkan dengan tindakan atau perkataan yang tidak benar, mengetahui dan melakukan membuat pernyataan yang salah atau representasi, mengekpresikan atau menyatakan secara tidak langsung, menyingung fakta yang ada saat ini atau yang lalu.

d. Theft secara harafiah theft berarti mencuri. Konsep theft adalah mengambil atau mengkliam sesuatu yang bukan milik menjadi milik peribadi atau golongan.

e. Unfair discrimination adalah perlakuan yang tidak adil atau tidak

normal atau hak yang tidak normal pada seseorang karena ras, umur, jenis kelamin, kebangsaan atau agama, kegagalan memperlakukan orang secara sama ketika tidak ada perbedaan yang beralasan dapat ditemukan antara menolong dan tidak menolong.

2. Prinsip‐Prinsip Etika

Prinsip dasar etika meliputi empat aspek

utama yang terdiri dari egoism, utilitarianism, kant dan deontology (Velasquesz, Manuel G., 2002). Secara singkat ke lima prinsip tersebut di jabarkan sebagai berikut:

Egoism. Merupakan standar yang mengacu pada kepentingan diri sendiri. Keputusan berdasarkan egoism dibuat untuk memberikan konsekuensi paling bear pada pihak yang dipentingkan dengan mengabaikan kepentingan pihak lain. Tindakan mementingkan diri sendiri tersebut dapat berupa jangka pendek dan jangka panjang.

Utilitarianism. Berdasarkan prinsip ini keputusan adalah etis jika memberikan benefit paling besar daripada keputusan alternatif yang lain. Perbedaan egoism dan utilitarianism adalah egoism berfokus pada kepentingan diri sendiri dari individual, perusahaan, komunitas, dan lain‐lain, tetapi utilitarianism berfokus pada kepentingan sendiri dari seluruh stakeholder.

Kant dan Deontology. Pada konsep utilitarianism kehilangan tuntutan dari teori karena gagal untuk menilai karakteristik tindakan moral, motif moral. Menurut pandangan Kant, manusia mempunyai kehendak untuk melakukan tindakan apa

25

Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012

yang diinginkan. Yang membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan untuk memilih antar arti alternatif atau cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan kebebasan menentukan tujuan atau kehendak dan bertindak dengan motif yang lebih tinggi.

3. Konsep Hak Dan Kewajiban a. Konsep hak

Hak legal adalah hak yang ada akibat dari aturan hukum yang berlaku. Hak moral atau hak manusia adalah hak yang berbasis pada norma dan prinsip moral yang seluruh manusia mengijinkan sesuatu untuk dilakukan. Hak moral yang paling penting adalah hak yang jatuh pada larangan atau syarat orang lain yang membuat individual memilih secara bebas untuk mengejar keinginan atau aktivitas.

Tiga fitur hak moral melaiputi hak moral berhubungan dengan kewajiban, hak moral memberikan individual dengan otonomi dan kesamaan dalam mengejar keinginan, dan hak moral memberikan penilaian untuk menjustifikasi tindakan seseorang untuk melindungi orang lain.

b. Hak dan kewajiban kontraktual

Adalah hak dan kewajiban yang dipunyai dibatasi dengan ikatan kontrak tertentu, jika kontrak habis, maka hilang pula hak dan kewajiban yang dimiliki.

Hak dan kewajiban kontraksional dapat dibedakan menjadi tiga hal pokok yaitu:

26

berdasarkan fakta bahwa serangan oleh individual yang spesifik akan menjatuhkan individual spesifik pula, hak kontraktual muncul dari transaksi spesifik antara individu tertentu, serta hak dan kewajiban kontraktual tergantung dari sistem penerimaan publik yang mendefinisikan transaksi yang menimbulkan hak dan kewajiban.

c. Tiga prinsip Nozick (libertarian)

1) Seseorang yang memperoleh (acquire) hak pada barang miliki (holding) yang sesuai dengan prinsip keadilan dalam akuisisi mempunyai hak pada barang tersebut.

2) Seseorang yang punya hak pada barang milik yang sedang ditransfer dari orang lain yang berhak, mempunyai hak pada barang tersebut.

3) Tidak satu pun mempunyai hak pada barang dengan pengecualian prinsip 1 dan 2.

4. Konsep Dasar Keadilan

Konsep dasar keadilan meliputi lima pilar

utama yang terdiri dari Distributive justice, Keadilan kapitalis, Sosialis, Keadilan retributive, Compensatory justice

(Velasquesz, Manuel G., 2002). Secara singkat konsep dasar keadilan tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a. Distributive justice Masyarakat mempunyai banyak benefit dan beban (burden) yang harus didistribusikan pada anggotanya. Alokasi dapat dilakukan dengan: pembagian yang sama pea

Konsep Teori dan Tinjauan Kasus Etika Bisnis PT Dirgantara Indonesia (1960 ‐2007) – Mahendra Adhi Nugroho

setiap orang, berdasar kebutuhan, usaha, jasa, dan kontribusi sosial.

b. Keadilan kapitalis; keadilan berdasar kontribusi Memandang bahwa keuntungan (benefit) harus didistribusikan sesuai pada nilai dari kontribusi dari yang dilakukan individual pada masyarakat, tugas, grup atau pertukaran.

c. Sosialis: keadilan berdasar kebutuhan dan kemampuan Prinsip sosialis berdasar pada ide bahwa orang menyadari potensi manusia mereka dengan kemampuannya dalam kerja produktif.

d. Keadilan retributive Mengacu pada retribusi atau hukuman pa tindakan yang salah.

e. Compensatory justice mengacu pada memberi kompensasi pihak yang disakiti pada tindakan yang salah.

5. Fungsi dan Etika Akuntan

Seperti professional lain akuntan

mempunyai kewajiban untuk kepentingan terbaik dari klien. Jika memberikan jasa audit dan konsultasi pada perusahaan yang sama akuntan harus objektif, ikatan akuntan mempunyai tanggung jawab memberikan jalan yang mengijinkan akuntan untuk melakukan kewajibannya. Dalam menghadapi konflik kode etika menyarankan anggota harus bertindak dengan integritas, dipandu oleh aturan ketika anggota memenuhi tanggung jawabnya pada kepentingan publik, klien dan pekerja merupakan pelayanan terbaik. Kejujuran selalu merupakan kebijakan terbaik, dan bisnis yang etis selalu merupakan bisnis yang baik.

Akuntan sebagai professional mempunyai tiga kewajiban, yaitu menjadi komponen dan mengetahui mengenai seni dan ilmu akuntansi, melihat kepentingan terbaik dari klien, menolak mengambil keuntungan dari klien, dan melayani kepentingan publik.

6. Tanggung Jawab Dasar Auditor

Peran utama dari auditor adalah sebagai seorang perantara antara laporan keuangan dan pengguna dari laporan tersebut. Tanggung jawab utama dari auditor untuk menilai gambaran keuangan yang benar (fair). Hal tersebut menguji gap ekspektasi antara publik dan auditor. Auditor bertanggungjawab memberikan opini apakah laporan keuangan menyajikan sesuai dengan prinsip akuntansi. Fairness merupakan istilah yang ambigu oleh karena itu, perlu kehati‐hatian auditor untuk menilai fairness laporan, jika berhubungan dengan fakta material. Bagaimanapun juga arti dari fairness, tampaknya merupakan persyaratan yang diberikan gambaran yang memberikan gambaran yang seakurat mungkin pada pihak ketiga yang mempunyai kepentingan pasar pada laporan keuangan. Di samping itu, Auditor bertanggungjawab untuk mendeterminasikan apakah sistem dan kontrol audit internal telah sesuai. Auditor mempunyai kewajiban untuk menguji kerja internal prosedur akuntansi perusahaan, menjaga dari risiko yang mungkin terjadi.

7. Tanggung Jawab Akuntan Perusahaan

Akuntan yang bekerja dalam perusahaan

– orang yang bekerja untuk perusahaan apakah sebagai financial officer, ahli penilai,

27

Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012

atau pencatat – mempunyai tanggung jawab pada gambaran situasi keuangan perusahaan yang digambarkan (portrayed). Partisipan dari akuntan management mempunyai tanggung jawab untuk mengkomunikasikan informal dengan benar dan objektif. Akuntan harus mengkomunikasikan informasi secara benar dan objektif karena pasar pantas untuk memperoleh pengungkapan penuh atas gambaran keuangan.

Jika kita melihat kode akuntan yang berlaku secara lebih spesifik, standar menyandarkan pada empat ethical conduct: kompetensi, confidentially, integritas dan objektivitas. Kompetensi mengacu pada bahwa akuntan harus kompeten dalam arti akuntan harus menjaga pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai, mengikuti hukum, aturan dan standar teknis, dan menyajikan laporan dengan jelas dan lengkap berdasar informasi yang reliable dan relevan setelah analisis yang tepat. Integritas mengacu pada tidak adanya konflik kepentingan secara penampilan dan fakta. Objektivitas mengacu pada akuntan harus mengkomunikasikan informasi dengan benar dan objektif. Karena akuntan manajemen mempunyai kewajiban untuk melaporkan secara benar (fair), fungsi akuntansi harus terpisah dengan proses manajemen.

8. Pertimbangan Pembuatan Keputusan Etis

Dalam setiap pembuatan keputusan yang etis, setiap orang harus mempertimbangkan berbagai macam aspek. Liam pertanyaan dasar yang didasari teori etika dapat dilakukan pada setiap

pengambilan keputusan adalah (Duska dan Duska, 2003), yakni:

a. Is the action good for me?

Suatu tindakan perlu mempertimbangkan kepentingan pribadi. Meskipun demikian diperlukan suatu definisi dari kata baik dan perlu mendeterminasikan kata “baik” dengan “apa yang seharusnya dilakukan”. Sutu tindakan memang harus mempertimbangkan kepentingan pribadi tetapi juga harus dihubungkan dengan orang lain.

b. Is action good or harmful society?

Jika good reason dalam melakukan tindakan menguntungkan kita, dan kemudian benar untuk setiap orang, sehingga banyak orang diuntungkannya adalah tindakan yang lebih baik. Tentu saja jika tindakan menguntungkan masyarakat tetapi melukai kita hal tersebut tentu saja masalah.

c. Is the action fair or just?

Prinsip dari keadilan yang mana setiap orang mengakui, sama (equal) harus diperlakukan sama (equally). Tentu saja sering bertentangan dengan orang yang sama (equal), tetapi mempunyai perbedaan yang relevan, setiap orang harus diperlakukan sama (equally).

d. Does the action violate anyone’s right?

Ada dua macam hak, hak negatif merupakan hak yang sudah ada tanpa diberikan orang dan hak positif yang merupakan hak yang diperoleh dari sesuatu yang diberikan misal hak pendidikan.

e. Have I made a commitment, implied or explicit?

28

Konsep Teori dan Tinjauan Kasus Etika Bisnis PT Dirgantara Indonesia (1960 ‐2007) – Mahendra Adhi Nugroho

Komitmen dapat dihasilkan dari hasil janji ekplisit dan kontrak. Meskipun demikian manusia merupakan pembuat janji. Struktur sosial kita tidak berfungsi jika tidak benar. Oleh karena itu merupakan alasan yang sangat baik untuk membuat janji atau komitmen pada diri sendiri.

Kaji Kritis Kasus PT Dirgantara Indonesia

Suatu konsep pengambilan keputusan dalam suatu dilema etis diperlukan suatu keberanian dan integritas yang tinggi. Permasalahan yang dihadapi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) merupakan permasalahan klasik yang dihadapi setiap orang yang memasuki sistem perusahaan (pemerintahan) di Indonesia. Pada konsep pembentukan awal PT DI yang dahulu bernama PT Industri Perusahaan Terbang Nusantara (PT IPTN) cukup sederhana, yaitu mengembangkan teknologi kedirgantaraan guna memperkuat ketahanan nasional. Pada awal perjalanan PT DI menunjukkan kinerja (yang tampak dari luar) cukup baik. Pemolesan wajah PT DI ternyata tidak dapat bertahan lama, kebenaran mengenai kondisi nyata perusahaan mulai terungkap. Pada pembahasan berikut akan berfokus pada point penting pelanggaran etika dan dicoba untuk dianalisis berdasarkan konsep teori yang ada.

Kejutan pertama yang diterima perusahaan adalah diungkapnya penyelewengan anggaran negara oleh BPK pada 20 April 1995. Sebagai akuntan negara, BPK telah berperan dengan baik dan memenuhi tanggung jawab dasar auditor yaitu memeriksa dan mengkomunikasikan temuan pada publik. Auditor telah bekerja

dengan integritas dan moral motive yang tepat. Di sisi lain, pada kasus ini perusahaan melanggar norma dasar etika (bribery, deception, coercion, dan theft), karena perusahaan telah melakukan manipulasi tender dan pelelangan. Dalam proses manipulasi tersebut akan melibatkan “Transaksi dibalik layar”. Pelanggaran etika juga dilakukan akuntan perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari manipulasi catatan yang mencoba untuk menyembunyikan fakta. Manipulasi juga melanggar konsep utilitarianism mengingat perusahaan merupakan perusahaan pemerintah yang bertanggungjawab pada rakyat.

Kasus pelanggaran etika kedua terjadi ketika perusahaan memecat dengan tidak hormat Salah satu karyawan pada 15 April 1996, setahun setelah pengungkapan penyimpangan oleh BPK. Karyawan tersebut merupakan karyawan yang mengungkapkan manipulasi tender kepada BPK. Pada kasus ini perusahaan telah jelas‐jelas melakukan diskriminasi dan melanggar konsep deontology yang menganut kebenaran mutlak. Indikasi lain dari terjadinya diskriminasi adalah timbulnya demo karyawan pada 29 Oktober 1997 yang menuntut keadilan jenjang karir. Pada kasus pemecatan karyawan yang mengungkapkan penyimpangan di IPTN juga terjadi pembalikan dan manipulasi konsep kebenaran. Pada kasus tersebut tampak bahwa orang menjadi salah karena mengungkapkan suatu kebenaran.

Kasus yang melibatkan pelanggaran konsep etika paling banyak adalah kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan secara besar besaran. Pada kasus ini

29

Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012

perusahaan telah melanggar konsep utilitarianism karena telah mengutamakan kepentingan perusahaan dengan karyawan jauh lebih sedikit daripada jumlah karyawan yang di PHK. Kelanjutan pelanggaran ini diperparah dengan ketidakmauan perusahaan untuk membayar pesangon walaupun telah disepakati bersama melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), kesepakatan tersebut selanjutnya dilanggar. Pada pelanggaran kesepakatan dan penolakan pembayaran pesangon tampak dengan jelas bahwa perusahaan melanggar hampir semua konsep hak dan kewajiban, dan keadilan. Dengan penolakan dan pelanggaran tersebut, konsep Distributive justice, keadilan berdasar kontribusi, keadilan berdasar kebutuhan dan kemampuan, Keadilan retributive,

Compensatory justice telah dilanggar. Di samping itu konsep hak dan kewajiban terutama hak kontraktual telah dilanggar secara nyata. Pada hak kontraktual, hak seseorang harus dibayar sesuai dengan kontrak. Usaha PT DI untuk tidak membayar pesangon melalui pelanggaran kesepakatan P4P merupakan langkah nyata untuk menghindari dari kewajiban.

Satu kasus unik yang terjadi pada kasus PT DI secara keseluruhan adalah kasus pembatalan putusan pailit melalui kasasi MA pada 24 Oktober 2007. Pada kasus ini argumen yang dibangun untuk pembatalan putusan pailit PN Jakarta pusat pada 9 September 2007 adalah kesalahan prosedur pengajuan pemailitan yaitu harus diajukan oleh pemegang saham mayoritas. Pada kasus ini terjadi kegagalan sinergi antara lembaga hukum. Meskipun tidak

30

berhubungan secara langsung dengan teori etika, kasus ini menggambarkan bahwa suatu pemecahan kasus dilemma etis diperlukan suatu koordinasi dan sinergi yang baik dari semua pihak yang berkaitan.

Secara keseluruhan, meskipun terdapat berbagai macam pelanggaran, jika dicermati lebih teliti pada kasus PT DI terdapat suatu moral motive yang baik. PT DI sebetulnya telah berusaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran pesangon, hal tersebut dapat diindikasi dengan hanya sebagian dari seluruh karyawan yang tidak dibayar pesangonnya. Demo karyawan muncul karena belum dibayarkan pesangon sebagian karyawan bukan seluruh karyawan. Di samping itu, individu di dalam PT DI sebagian mempunyai moral motive yang baik. Dapat dilihat dari kasus pengunduran diri tiga direktur karena tidak setuju dengan putusan PHK karyawan.

Dari fakta pelanggaran etika, kasus kasasi pembatalan pailit, dan moral motive yang terdapat dalam perusahaan dapat diajukan satu solusi alternatif. Solusi yang diajukan berupaya untuk mendudukkan kasus pelanggaran PT DI sebagai kasus yang universal dalam artian, solusi yang diajukan berusaha memandang masalah secara makro.

Dari kasus dapat dilihat bahwa di dalam suatu organisasi yang melanggar etika separah apapun masih terdapat individu dengan moral motive yang baik. Moral motive tersebut merupakan modal dasar dalam menyelesaikan permasalahan dilema etis. Pada kasus juga menunjukkan kegagalan sinergi antara lembaga pemerintah, perusahaan dan sistem hukum. Solusi alternatif yang diajukan yaitu dengan

Konsep Teori dan Tinjauan Kasus Etika Bisnis PT Dirgantara Indonesia (1960 ‐2007) – Mahendra Adhi Nugroho

memperbaiki sinergi antara lembaga pemerintah, perusahaan dan sistem hukum dengan individu dengan moral motive yang baik sebagai stabilisator yang mempengaruhi sinergi tersebut. Secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 1.

dengan konsep etika yang ada. Keputusan yang diambil, meski sulit, harus mampu mengakomodir semua kepentingan stake holder sekaligus memperhitungkan etika yang ada.

Dari semua pembahasan yang telah

Moral motive

Hukum Pemerintah

Gambar 1: Peran Moral Motive

Pada Gambar 1 terlihat bahwa individu dengan moral motive yang baik dapat mempengaruhi sinergi yang dibentuk. Di sini, individu berperan sangat penting. Peran penting tersebut terjadi karena ketiga komponen sinergi terdiri dan digerakkan oleh individu. Sinergi yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh individu di dalamnya. Dengan moral motive yang baik dari individu akan menggerakkan sinergi ke arah sinergi yang etis.

Simpulan

Konsep teori etika merupakan suatu konsep ideal yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi bisnis. Penerapan konsep tersebut dalam organisasi bisnis sering mengalami hambatan dan tantangan. Suatu organisasi bisnis yang sedang mengalami dilema etis dalam mengambil keputusan harus mengambil keputusan dengan bijak. Keputusan yang diambil sering mengalami benturan antara kepentingan stake holder

dilakukan dapat disimpulkan bahwa suatu dilema etis akan selalu dihadapi dalam pengambilan keputusan. Solusi dari pengambilan keputusan yang etis terletak pada individu yang menggerakkan sistem yang ada. Individu merupakan pelaku utama dalam organisasi itu sendiri. Di sini, moral motive individu memegang peran penting dalam pengambilan keputusan. Moral motive yang dimiliki individu dapat menjadi motor dalam organisasi untuk mengambil keputusan etis. Kumpulan individu yang mempunyai moral motive dalam organisasi dapat mewarnai keputusan organisasi menjadi lebih etis.

Daftar Pustaka

Duska, Ronald F. and Duska, Brenda S.

(2003). Accounting Ethics, Blackwell

Publishing.

31

Jurnal Economia, Volume 8, Nomor 1, April 2012

Fritze, Davis J. (2005) Business Ethics: A

Global and Managerial Perspective.

McGraw – Hill.

Kompas (2003) PT DI Dipertahankan, Tiga Direktur Mundur, RUPSLB Ditunda, Sabtu, 19 Juli 2003 http://www.kompas. com/kompas‐cetak yang direkam pada 4 Nov 2007 05:28:44 GMT.

Kompas (2007) Empat BUMN Rugi Nyata Rp 17,092 Triliun http://www.kompas.com yang direkam pada 23 Nov 2007 15:58:39 GMT.

Kompas (2007) Pailit PT DI Dibatalkan SP‐ FKK PT Dirgantara Indonesia Akan Ajukan PK dan Turun ke Jalan. http://www.kompas.com yang direkam pada 15 Nov 2007 20:09:47 GMT.

Koran Tempo (2003) Mengudara dan Menukik ala IPTN, 20 Juli 2003, http://www.korantempo.com yang direkam pada 31 Okt 2007 00:29:43 GMT.

Media Indonesia (2007) PT DI Daftarkan

Kasasi Atas Putusan Pailit, www.

MediaIndonesiaonline.com

Pikiran rakyat (2003) Putusan Sela PT DI Dibacakan Pekan Depan, Jumat, 08 Agustus 2003 http://www.pikiran‐ rakyat.com yang direkam pada 15 Nov 2007 09:54:17 GMT.

Republika (2007) PN Jakpus Pailitkan PT DI , Republika 05 September 2007.

Sinar Harapan (2004) Pesangon Karyawan PT DI Sesuai UU Ketenagakerjaan, Sabtu, 17 Januari 2004 http://www. sinarharapan.co.id yang direkam pada 15 Nov 2007 10:58:28 GMT.

Tempo Interaktif (2005) Kasasi Ditolak PT Dirgantara Segera Bayar Pesangon, http://www.TempoInteraktif.com diakses Rabu, 21 Desember 2005 | 22:38 WIB.

Tempo Interaktif (2007) Selama Kepengurusan Pailit, PT DI Masih Bisa Beroperasi, Selasa, 11 September 2007, http://www.tempointeraktif.com yang direkam pada 28 Nov 2007 19:31:57 GMT.

Velasquesz, Manuel G (2002). Business Ethics: Concepts and Chases, Fith edition. Prentice Hall.

Perbandingan Perusahaan yang memakai atau meberapkan etika bisnis dan tidak bisa di lihat dari
– Manfaat Etika Bisnis bagi Perusahaan :
1. Dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan sebagai corporate culture. Hal ini terutama penting bagi perusahaan besar yang karyawannya tidak semuanya saling mengenal satu sama lainnya. Dengan adanya etika bisnis, secara intern semua karyawan terikat dengan standard etis yang sama, sehingga akan mefigambil kebijakan/keputusan yang sama terhadap kasus sejenis yang timbul.
2. Dapat membantu menghilangkan grey area (kawasan kelabu) dibidang etika. (penerimaan komisi, penggunaan tenaga kerja anak, kewajiban perusahaan dalam melindungi lingkungan hidup).
3. Menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
4. Menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya, kemungkinan untuk mengatur diri sendiri (self regulation)
5. Bagi perusahaan yang telah go publik dapat memperoleh manfaat berupa meningkatnya kepercayaan para investor. Selain itu karena adanya kenaikan harga saham, maka dapat menarik minat para investor untuk membeli saham perusahaan tersebut.
6. Dapat meningkatkan daya saing (competitive advantage) perusahaan
7. Membangun corporate image / citra positif , serta dalam jangka panjang dapat menjaga kelangsungan hidup perusahaan (sustainable company).
Etika bisnis perusahhan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki dsaya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai yang tinggi,diperlukan suatu landasan yang kokoh.

Etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka panjang maupun jangka menengah karena :
• Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
– Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
– Melindungi prinsip kebebasan berniaga.
– Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
– Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.

Tinggalkan komentar